Bisnis.com, MALANG — Perlu dilakukan proyeksi iklim dalam jangka panjang, misalnya 100 tahun, untuk menjaga stabilitas produksi pangan.
Guru Besar Bidang Ilmu Agroklimatologi pada Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya, Prof. Didik Hariyono, mengatakan dengan adanya proyeksi iklim jangka panjang, maka berbagai pemangku kepentingan di sektor pertanian dapat mengantisipasi dengan melakukan mitigasi dan adaptasi.
“Langkah adaptasi misalnya dengan memilih bibit yang tepat ketika musim pada kurun curah hujannya tinggi sehingga basah maupun kering yang berkepanjangan,” ujarnya di sela-sela pidato pengukuhannya sebagai guru besar di Samantha Krida Universitas Brawijaya, Minggu (17/3/2024).
Contoh mitigasi, seorang yang mengetahui tanah yang mereka manfaatkan kurang subur dan kering, bisa diolah menjadi subur dengan ditaburi garam.
“Saya mempunyai teman yang kaya raya karena bertani berhasil dengan memanfaatkan menyewa tanah-tanah yang kurang subur kemudian diolah dengan menaburi garam dan ternyata hasil panennya sangat bagus,” ucapnya.
Menurut dia, peningkatan frekuensi perubahan iklim menyebabkan ketidakstabilan produktivitas di bidang pertanian, yaitu pengaruh terhadap ketersediaan hasil pertanian.
Baca Juga
Upaya dalam memperbaiki produktivitas tanaman di antaranya melalui teknologi proyeksi iklim yang mensimulasikan skenario emisi GRK (Gas Rumah Kaca) dengan proyeksi radiasi pada skala berbeda atau Representative Concentration Pathways (RCP).
Prinsip RCP, kata dia, bekerja berdasarkan data historis iklim, analisa data menggunakan uji validasi model proyeksi iklim, analisis tren perubahan curah hujan tahunan, suhu rata-rata bulanan, dan analisis RMSE untuk proyeksi produktivitas tanaman.
Kelemahan dari implementasi teknologi proyeksi iklim di bidang pertanian yaitu tingkat kesadaran masyarakat yang masih rendah dalam memahami terjadinya perubahan iklim, sehingga dibutuhkan edukasi terpadu melalui penyuluhan pertanian maupun sekolah lapang iklim dan perlu dilakukan koreksi persepsi tentang penyebab perubahan iklim.
Kajian penelitian proyeksi iklim dan dampak terhadap tanaman pertanian perlu untuk dikembangkan karena juga berdampak terhadap proyeksi kesesuaian lahan, tanaman, dan sosial ekonomi.
Sedangkan keunggulan dari proyeksi iklim, kata dia, yaitu dapat menentukan pergeseran pola cuaca, peningkatan suhu di atmosfer, serta perubahan pada berbagai variabilitas iklim yang mempengaruhi musim tanam, pertumbuhan, serta hasil panen tanaman durian berdasarkan proyeksi iklim, yaitu peningkatan suhu atmosfer (suhu maksimum dan suhu minimum) hingga 2100 menggunakan model proyeksi iklim pada tiga skenario representative concentration pathways (RCP).
Bentuk mitigasi dampak dari perubahan iklim adalah dengan cara mengembangkan rancangan teknologi berupa skenario proyeksi iklim hingga 100 tahun mendatang, yaitu melalui proyeksi peningkatan suhu udara (suhu maksimum dan suhu minimum) hingga tahun 2100 sehingga dapat diketahui tren pola kenaikan rata–rata suhu atmosfer.
Untuk itu harapan dari teknologi ini, dia menegaskan, yakni menjadi prioritas pemerintah di bidang pertanian dalam meminimalisir dampak negatif dari perubahan iklim serta pengembangan potensi pertanian khususnya produktivitas tanaman tahunan dan musiman yang memiliki nilai ekonomi tinggi.
“Pemerintah, penyuluh pertanian, dan petani harus bertransformasi jika kebijakan tersebut diterapkan. Model yang bisa diterapkan, yakni sekolah lapang dan pembuatan demplot,” ucapnya.
Prof. Didik Hariyono, sebagai guru besar aktif ke 36 di Fakultas Pertanian (FP) dan profesor aktif ke 223 di Universitas Brawijaya serta menjadi profesor ke 387 dari seluruh Profesor yang telah dihasilkan oleh Universitas Brawijaya.(K24)