Bisnis.com, MALANG—Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP) Budi Utomo, Malang, Jatim, menangkal paham radikalisme di kampus lewat praktik dan promosi budaya multikulturalisme dan dialog.
Rektor IKIP Budi Utomo Malang Nurcholis Sunuyeko menjamin di kampus tersebut tidak ada, apalagi berkembang, paham radikalisme karena praktik interaksi sehari-hari antarmahasiswa selalu mempraktikkan budaya dan paham multikulturalisme yang intinya berupaya memahami dan menghormati budaya dan adat istiadat lian.
“Kami juga terus mempromosikan budaya multikulturalisme lewat berbagai kegiatan intra dan ekstra kampus lewat diskusi-diskusi, seminar, maupun kegiatan seni budaya,” ujarnya di sela-sela pemberian santunan pada 350 anak yatim dan duafa serta tali asih pada RW dan RT di lingkungan kampus IKIP Budi Utomo di Malang, Rabu (6/6/2018).
Yang tidak kalah pentingnya, kata dia, mengembangkan budaya dialog. Paham-paham yang dikembangkan mahasiswa dan berpotensi menjadi eksklusif diupayakan agar ada dialog dengan paham lain yang berbeda lewat berbagai kegiatan yang difasilitasi kampus.
Dialog penting karena berkembangnya budaya eksklusif yang bisa berpotensi mengarah paham pada radikal karena tidak ada ruang untuk berdialog dengan budaya lain perlu diurai dengan adanya kegiatan dialog.
Dengan adanya dialog, maka diharapkan masing-masing pihak memahami dan mengerti pihak lain sehingga tidak berkemabang budaya eksklusif. Yang terjadi munculnya semangat kebersamaan yang dibangun atas dasar penghargaan pada paham-paham yang berbeda di kalangan mahasiswa.
Dari sisi sosialogis, kata Nurcholis yang doktor sosialogi itu, juga tidak mungkin berkembang paham eksklusif, apalagi radikal, karena mahasiswa IKIP Budi Utomo yang berjumlah 7.350 orang itu berasal dari berbagai daerah di Jawa dan luar Jawa dengan adat istiadat beragam.
Dengan demikian, secara sosialigis mahasiswa IKIP Budi Utomo sudah mencerminkan corak masyarakat dengan paham Bhineka Tunggal Ika yang artinya multikulturalisme.
“Dengan cara begitu, maka saya jamin di IKIP tidak ada mahasiswa yang berpaham radikal karena paham itu tidak dikenal dalam budaya intelektual maupun adat istiadat keseharian mahasiwa,” ucapnya.