Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Penaikan Tarif CHT Secara Eksesif Berdampak Luas

Sepanjang 2020 terdapat 4.500 tenaga kerja industri hasil tembakau (IHT) yang terkena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK).
Ilustrasi aktivitas pabrik rokok./Ist
Ilustrasi aktivitas pabrik rokok./Ist

Bisnis.com, MALANG — Penaikan tarif cukai hasil tembakau (CHT) secara eksesif, seperti setiap tahun dan besarannya dua digit, telah terbukti berdampak luas. Dampak ini tidak hanya bagi industri hasil tembakau (IHT), melainkan juga pada petani tembakau dan tenaga kerja, penerimaan negara, masifnya peredaran rokok ilegal, namun konsumsi rokok tidak juga terkendali.

Ketua Forum Masyarakat Industri Rokok Seluruh Indonesia (Formasi), Heri Susianto, mengatakan kenaikan tarif CHT yang tergolong tinggi/eksesif tiap tahunnya pada akhirnya hanya akan berdampak pada pola dan volume produksi rokok legal, termasuk nilai penjualan dan pasar barang.

“Yang terjadi fungsi cukai akhirnya direduksi dari pengendalian konsumsi menjadi pengendalian produksi,” ujarnya, Selasa (14/5/2024).

Menurut dia, fungsi cukai direduksi (diperkecil) dan tidak berjalan sebagaimana mestinya karena mengarah pada pengendalian produksi yang justru menjadi beban tersendiri bagi produsen rokok/industri hasil tembakau (IHT) legal.

Pengendalian konsumsi, dia berharap, sebaiknya tidak hanya mengandalkan instrumen dalam bentuk kebijakan CHT, akan tetapi mengoptimalkan instrumen dalam bentuk lain seperti sosialisasi/edukasi yang secara masif dilakukan. Perubahan orientasi semacam ini perlu dilakukan agar perubahan kebijakan CHT tidak secara perlahan mematikan industri rokok legal.

“Konsumen beranggapan bahwa ketika tarif CHT naik maka konsumen akan memilih ke harga rokok yang lebih murah atau bahkan dapat memilih rokok ilegal,” katanya.

Bagi petani tembakau, kata dia, dampak kebijakan CHT telah dirasakan sejak lama. Sejak 2015 terjadi penurunan harga pembelian dari produsen yang cukup tinggi. Sejak 2015, kenaikan tarif CHT pertama kali menyentuh double digit yakni pada 2016 sebesar 8,72%Selanjutnya pada 2017 terdapat kenaikan 10.54%, 2018 sebesar 10.4% dan 2019 tidak terdapat peningkatan sama sekali.

“Pemerintah sebaiknya perlu lebih memperhatikan kesejahteraan petani tembakau mengingat tantangan yang dihadapi sangat berat,” ujarnya.

Dia menegaskan pula, kondisi tenaga kerja menjadi aspek lain yang terdampak dari kenaikan tarif CHT, baik terhadap buruh tani tembakau atau buruh rokok/industri.

Data dari Kementerian Perindustrian (Kemenperin) menyebutkan, sepanjang 2020 terdapat 4.500 tenaga kerja IHT yang terkena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Dalam 10 Tahun terakhir sebanyak kurang lebih 68.889 buruh linting rokok keterk terkena PHK.

Terhadap penerimaan negara, katra dia, juga negatif. Sejak 2010, hampir setiap target cukai yang ditentukan dapat dipenuhi, tetapi pada  2016 dan 2023 penerimaan CIT tidak dapat memenuhi target. Realisasi pada 2023 hanya sebesar Rp213,49 triliun dari target sebesar Rp218,69 triliun.

Adapun paling berdampak, Heri menegaskan, peredaran rokok ilegal yang semakin massif. Ketika terjadi kenaikan CHT yang tinggi/resesif, maka akan menimbulkan perlambatan bagi penerimaan cukai. Ditambah lagi, tingkat konsumsi/prevalensi merokok tidak mengalami penurunan yang signifikan. Hal ini jelas mengindikasikan adanya produksi dan penjualan rokok yang tidak teregistrasi/ilegal.

Hasil kajian P2EB FEB UGM 2023 menunjukkan persentase peredaran rokok ilegal pada tahun 2023 kembali naik menjadi sebesar 6,8% dibanding peredaran rokok ilegal di tahun 2022 sebesar 5,5%. Kemudian, berdasarkan hasil survei dari Universitas Gadjah Mada (UGM), diperkirakan tingkat peredaran rokok ilegal menyentuh 4,86% pada tahun 2020 dan diikuti pada tahun 2021, maka kerugian negara akibat peredaran rokok ilegal dapat mencapai Rp4,47 triliun.

Di sisi lain, menurut data Kementerian Keuangan, diperkirakan kerugian negara akibat Barang Hasil Penindakan (BHP) rokok ilegal mencapai Rp339,18 miliar per November 2020. Nilai ini meningkat drastis dibandingkan tahun lalu yang diperkirakan sebesar Rp. 247,64 miliar.

Bahkan menurut hasil survei lembaga survei Indo Data, dia menegaskan, apabila dikonversikan kerugian negara akibat rokok ilegal estimasi mencapai Rp53,18 triliun.(K24)


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Choirul Anam
Editor : Miftahul Ulum
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper