Bisnis.com, MALANG — Optimalisasi APBD merupakan kunci untuk dapat menggenjot ekonomi Jatim 2023. Teknisnya dengan memperbesar belanja modal, berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya yang masih didominasi belanja rutin atau operasional.
Peneliti Senior Pusat Penelitian Kebijakan Ekonomi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya, Joko Budi Santoso, menilai pertumbuhan ekonomi Jawa Timur sebesar 5,34 persen pada 2022 lebih tinggi dibandingkan capaian nasional dan tertinggi kedua setelah Jawa barat di tingkat regional Jawa.
“Di tengah dinamika global pada 2022, capaian ini layak diapresiasi,” katanya, Selasa (7/2/2023).
Capaian ini dapat menjadi pelecut untuk lebih memaksimalkan perekonomian Jatim pada 2023. Pemerintah Provinsi Jawa Timur dengan kekuatan APBD sebesar sekitar Rp30 triliun ditambah sekitar Rp100 triliun total APBD 38 kab/kota pada 2023 menjadi amunisi yang harus dioptimalkan untuk menggenjot pertumbuhan.
Optimalisasi ini, Joko menilai, dapat diawali dengan memperbesar belanja modal, khususnya dalam pembangunan infrastruktur pengungkit ekonomi dengan mengedepankan pengerjaan padat karya yang memanfaatkan tenaga kerja lokal. Fakta menunjukkan, Rata-rata belanja modal kab/kota hanya pada kisaran 14 persen. Porsi terbesar APBD habis untuk belanja operasi, khususnya untuk belanja pegawai.
Dengan kata lain, menurut dia, APBD habis hanya untuk pendanaan rutinitas roda pemerintahan daerah. Hal yang hampir sama terjadi di tingkat pemerintahan desa, penggunaan Dana Desa dari pemerintah pusat yang mengalir ke desa-desa di Jawa Timur yang mencapai lebih dari Rp7 triliun, kurang efektif untuk pemberdayaan ekonomi masyarakat dan peningkatan infrastruktur produktif desa.
Baca Juga
APBDes digunakan lebih kepada mempercantik desa, seperti memperbaiki gapura, balai desa, pendopo desa, dan sebagainya yang kurang memberikan multiplier efek bagi perekonomian desa.
Optimalisasi APBD dapat dimulai dari pemerintah provinsi Jawa Timur, khususnya dalam pengelolaan belanja daerah. Bantuan Keuangan yang diberikan kepada kabupaten/kota harus berdasarkan kebutuhan wilayah bukan pertimbangan politis.
Bantuan keuangan harus mempertimbangkan beberapa poin, yakni daerah-daerah di wilayah selatan Jawa Timur yang secara perekonomian relatif tertinggal dibanding wilayah utara dan daerah-daerah ini menjadi kantong kemiskinan Jawa Timur termasuk wilayah Madura.
Selain itu, bantuan keuangan difokuskan untuk peningkatan infrastruktur, perbaikan kualitas SDM, dan UMKM serta mengurangi hibah dan bansos yang kurang produktif, apalagi pola belanja daerah menjelang tahun politik, kecenderungan kedua belanja tersebut meningkat signifikan.
Dia juga mengusulkan, agar pemda perkuat BUMD, khususnya untuk BUMD yang mendukung permodalan UMKM dan BUMD yang memiliki tupoksi dalam stabilisasi harga, khususnya harga komoditas.
Selain itu, menurut Joko, prioritas juga harus diberikan untuk UMKM. Jawa Timur memiliki sekitar 9,7 juta UMKM. Jika 10 persen UMKM ini dapat berkembang dan mampu menambah 1 orang tenaga kerja saja, maka persoalan pengangguran di Jawa Timur bisa selesai dengan mudah.
Dia mengingatkan hal ini kadang sebatas retorika keberpihakan pada ekonomi kerakyatan, pemberdayaan UMKM lebih bersifat proyek (by project). Seharusnya dilakukan secara berkelanjutan.
Dia menegaskan, pemerintah provinsi harus berani memberikan insentif fiskal yang lebih besar bagi kab/kota yang mampu meningkat produktivitas pertanian dan menahan alih fungsi lahan pertanian.
“Kepentingan jangka pendek kepala daerah terkadang menjadikan daerah dengan basis sektor pertanian kurang komitmen menjaga sektor pertanian demi kepentingan peningkatan PAD. Lahan pertanian banyak menjadi perumahan dan perkantoran serta kawasan industri karena secara ekonomi memiliki NJOP lebih tinggi sehingga akan meningkatkan PAD dari sumber PBB dan BPHTB,” ucapnya.
Oleh karena itulah, menurut Joko, good will dan leadership kepala daerah menjadi kunci akselerasi pembangunan daerah.(K24)