Bisnis.com, MALANG – Instrumen penaikan tarif cukai tidak berhasil menurunkan konsumsi rokok, justru hanya mematikan industri hasil tembakau (IHT) golongan kecil.
Ketua Dewan Ketua Dewan Penasihat Formasi Andriono Bing Pratikno mengatakan fakta di lapangan menunjukkan bahwa instrumen penaikan tarif cukai hanya berdampak pada perusahaan rokok (PR) kecil.
“Karena kebijakan pemerintah tersebut, dalam enam tahun terakhir pabrik rokok berguguran hingga 1.900 perusahaan rokok,” katanya di Malang, Rabu (18/10/2017).
Namun dari sisi produksi, ternyata naik hingga pada 2016 sudah mencapai sekitar 350 miliar batang. “Itu produk rokok legal. Kalau ditambah dengan rokok ilegal yang angkanya diperkirakan mencapai 12%, tentu angkanya lebih besar lagi,” ujarnya.
Dengan demikian, lewat mekanisme tarif justru membuat PR kecil berguguran, sedangkan konsumen beralih ke golongan di bawahnya bahkan ke produk ilegal. Pernyataannya tersebut mengomentari penilaian dari Abdillah Ahsan, pengajar di Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia yang menyebut peningkatan tarif cukai diharapkan bisa mengendalikan konsumsi tembakau.
Dengan kenaikan tarif cukai, maka harga rokok di kalangan konsumen bisa ikut terkerek yang implikasinya menurunkan konsumen rokok.
Upaya penyesuaian cukai bisa menjadi salah satu cara yang ditempuh, karena selain sebagai alat mendulang penerimaan negara, juga memiliki fungsi pengendalian konsumsi.
Ketua Harian Formasi Heri Susianto juga menegaskan pelaku usaha di strata PR kecil sebenarnya tidak alergi terhadap penaikan tarif cukai. Yang menjadi permasalahan, besaran tarifnya. Intinya, tarif yang dilakukan pemerintah memperhatikan aspek keadilan, tidak justru malah mematikan PR kecil.
Karena itulah, Formasi mengusulkan tarif cukai yang berkeadilan dengan menata kembali struktur dan besaran tarif atas dasar produksi.
Untuk produk sigaret kretek mesin dan sigaret putih mesin dengan produksi 0-2 miliar batang/tahun dengan tarif Rp350/batang, 2-4 miliar batang/tahun Rp375/batang, dan di atas 4 miliar batang/tahun Rp580/batang.
Opsi lainnya, produksi dengan 0-3 miliar batang/tahun Rp350/batang dan di atas 3 miliar batang/tahun Rp580/batang.
Formasi juga meminta payung hukum, agar PR golongan I atau PR besar tidak melakukan praktik dumping untuk menyasar pangsa PR kecil sehingga berdampak mematikan usaha mereka.
Usulan tersebut disampaikan ke Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan dengan tembusan Dirjen dan Bea Cukai, Direktur Teknik dan Fasilitas Cukai Ditjen Bea dan Cukai, Direktur Penerimaan dan Perencanaan Strategis Ditjen Bea dan Cukai, serta Kepala Kantor Wilayah Ditjen Bea dan Cukai Jatim II di Malang.
Surat tertanggal 18 Oktober itu ditandatangani Heri Susianto, Ketua Harian Formasi; Ketua Dewan Ketua Dewan Penasihat Formasi Andriono Bing Pratikno; dan Agus Susanto, pengurus Formasi.