Bisnis.com, MALANG — Maraknya kasus kekerasan seksual di dunia pendidikan disebabkan oleh sejumlah faktor, salah satunya, yaitu relasi kuasa yang tidak seimbang, seperti antara guru dan murid atau senior dan junior, menjadi salah satu pemicu utama.
Dosen (PGSD) Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), Ariana Restian, mengatakan faktor tersebut masih ditambah lagi kurangnya literasi seksual dan kesadaran gender membuat batasan pribadi kerap dilanggar.
“Selain itu melekatnya budaya patriarki dan victim blaming yang menjadikan korban enggan berbicara fakta bahwa dia korban kekerasan seksual sehingga tidak ada ruang aman untuk menjadi sandaran berlindung,” katanya, Selasa (29/4/2025).
Menurutnya, keamanan dalam menimba ilmu di dalam lingkungan pendidikan perlu menjadi fokus utama yang perlu dijadikan poin penting dan harus ditegakkan.
Seperti yang dilakukan UMM yang berkomitmen menegakkan keamanan untuk menjadi ruang aman untuk berlindung dari kekerasan seksual.
Implementasinya, pendidikan nilai gender yang sudah terintegrasi dalam mata kuliah AIK (Al-Islam dan Kemuhammadiyahan), menyediakan ruang pelaporan yang aman dan rahasia, serta jaminan pendampingan bagi korban berkoordinasi dengan UPT Bimbingan Konseling UMM.
Baca Juga
Bahkan juga membentuk satgas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual.
“Langkah-langkah seperti ini mungkin bisa diadopsi dan dilakukan di sekolah maupun lembaga pendidikan lainnya,” katanya.
Selanjutnya, kata dia, masyarakat dilingkungan pendidikan diharapkan memiliki kesadaran kolektif untuk merespons kekerasan dengan cepat, tegas, dan berpihak kepada korban.
Budaya saling menjaga sangat perlu ditanamkan, dan menghapus kebiasaan menghakimi yang kerap menyudutkan korban. Selain itu juga menyediakan akses terhadap layanan pendampingan baik hukum, psikologis, maupun konseling.
Arina melanjutkan, di balik maraknya kasus kekerasan dan ketimpangan relasi sosial, budaya patriarki masih membayangi kehidupan sehari-hari. Ketimpangan kuasa menjadikan alasan utama suara korban semakin sulit terdengar.
Apalagi melihat bahwa sosialisasi terkait kekerasan seksual yang selama ini dilakukan belum menggugah empati masyarakat dan belum menanamkan nilai-nilai yang hidup dalam hati.
Dia meyakini, perubahan harus dimulai dari pendidikan karakter yang mengajarkan empati, keberanian untuk berbicara, dan kesadaran diri akan hak serta batas tubuh sendiri.
Tak kalah penting, dia menekankan, perlunya pendidikan seksual yang mudah dipahami oleh masyarakat luas.
Bukan hanya sekadar informasi biologis, tapi pengetahuan tentang fungsi tubuh, batas aman dalam interaksi dengan orang lain serta bagaimana membangun relasi yang sehat dan saling menghormati sesama.
“Harapan kami, agar kampus-kampus bisa menjadi pelopor kampus merdeka yang aman, inklusif, dan beradab. Hal serupa juga dilakukan oleh UMM. Kampus bukan hanya tempat belajar ilmu, tetapi tempat tumbuhnya manusia yang utuh yang cerdas secara intelektual, kuat secara moral, berkemajuan dan luhur dalam adab. Kami berharap adanya sinergi antara kebijakan, sistem pendukung, dan budaya kampus yang menolak segala bentuk kekerasan,” ucapnya.