Bisnis.com, SURABAYA - Kredivo dan Katadata Insight Center (KIC) kembali merilis laporan tahunan “Laporan Perilaku Pengguna PayLater Indonesia 2024“ yang menarik untuk diikuti. Berbeda dari laporan-laporan yang dirilis sebelumnya yang mempelajari perilaku konsumen e-commerce Indonesia tahun 2019, 2020, 2021, 2022 dan 2023, laporan terbaru ini mempelajari perilaku pengguna pay later sepanjang tahun 2023.
Mahasiswa Magister Manajemen Universitas Hayam Wuruk Perbanas Anis Ichtiarti menjelaskan Pay later konsisten berkontribusi terhadap inklusi keuangan. Mempermudah akses pembiayaan bagi masyarakat unbanked. Sebesar 68% pengguna pay later menyatakan bahwa fasilitas pay later yang diterima adalah kredit pertama mereka. Angka ini naik dari tahun sebelumnya yang sebesar 60,9% Berbeda dengan kartu kredit yang persyaratannya lebih ketat dan mengharuskan record pembayaran yang baik, pay later lebih mudah diakses oleh masyarakat yang belum pernah mendapatkan akses kredit.
“Seperti halnya Penyedia Jasa Keuangan (Bank Umum, BPR, Asuransi dan Fintech), Penyedia Jasa Layanan Pay Later juga diwajibkan menyusun dan melaksanakan program Inklusi Keuangan yang dilaporkan secara berkala kepada Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Bukan hanya Inklusi keuangan tetapi Literasi Keuangan juga. OJK sendiri dengan portal “sikapiuangmu”, “Digital Financial Literacy” yang dapat diunduh melalui Apple Store banyak membagikan materi edukasi termasuk materi literasi keuangan digital. Seain itu juga melalui kuliah umum pada universitas-universitas di Indonesia.”
Mengapa inklusi, literasi dan literasi keuangan digital menjadi prioritas OJK? Dalam konteks Pay Later inklusi untuk memperluas akses masyarakat kepada layanan keuangan, sedangkan literasi keuangan dan literasi digital keuangan untuk perlindungan konsumen dan menghindari jebakan hutang (Siaran Pers OJK No . 214/GKPB/OJK/XII tanggal 31 Desember 2024), katanya.
“Baru-baru ini OJK merilis hasil Survey Nasional Literasi dan Inklusi Keuangan (SNLIK) 2024 yang dilakukan bersama Badan Pusat Statistik yang bertujuan :
- Mengetahui indeks literasi dan inklusi keuangan nasional sebagai evaluasi terhadap program literasi dan inklusi yang telah dilakukan pada tahun 2023 dan perencanaan terhadap pada tahun berikutnya.
- Mengukur kinerja program literasi dan inklusi keuangan yang telah dilakukan OJK dan satuan kerja terkait.”
Hasilnya ada gap yang besar antara capaian dan target. Pemerintah melalui Peraturan Presiden Nomor 114 Tahun 2020 tentang Strategi Nasional Keuangan Inklusif menargetkan Indeks inklusi keuangan 90% pada 2024. Hasil SNLIK 2024 Indeks Inklusi keuangan adalah 75,02% .Gap juga terdapat pada indeks literasi keuangan hasil SNLIK 2024 yang sebesar 65,43% dengan Indeks inklusi keuangan 75,02%. Selisih 9,59% menandakan bahwa 9,59% masyarakat Indonesia yang menggunakan produk/layanan jasa keuangan dalam satu tahun terakhir masih belum terliterasi keuangan dengan baik. Jelas Anis.
“Bagaimana peta indeks inklusi dan literasi keuangan masyarakat Indonesia dibandingkan dengan negara-negara di Asia Tenggara? Tingkat literasi keuangan Indonesia yang 64,5% itu jauh lebih rendah dari tingkat literasi keuangan Negara Singapura 98%, Malaysia 85 %, dan Thailand 82% tahun 2019.”
Anis menyebutkan hasil SNLIK OJK tahun 2022, indeks literasi keuangan digital dan indeks inklusi keuangan digital di Indonesia menunjukkan angka 41% dan 72%. Ini menunjukkan bahwa cukup banyak masyarakat yang telah memanfaatkan layanan keuangan digital tanpa memiliki pengetahuan yang memadai. Kurangnya literasi masyarakat dalam penggunaan layanan keuangan digital akan memunculkan risiko-risiko baru.
“Benarkah pengguna memanfaatkan pay later untuk memenuhi kebutuhan mendesak ? Tidak selalu. Hal ini terkonfirmasi secara tidak langsung dari laporan Kredivo dan KIC 2024 , melalui katagori produk yang sering dibeli . Tampak bahwa ada produk fashion dan aksesoriesnya sebesar 11,7%, gadget dan aksesoriesnya 5,3% ; olah raga , mainan dan hobi 5,3% . Katagori produk ini terindikasi dengan barang-barang konsumtif dan berkaitan dengan gaya hidup bukan dengan yang dibutuhkan mendesak.”
Terjebak hutang adalah kondisi dimana seseorang tidak dapat melunasi hutang dari penghasilannya. Hutang dilunasi dari hasil berhutang baru. Faktor-faktor fleksibilitas pembayaran pay later berupa: memenuhi kebutuhan mendesak saat dana belum ada; tenor cicilan bervariasi dan panjang , serta membantu mengatur cashflow. Semua itu untuk dimanfaatkan sebaik mungkin bagi kebutuhan penting, namun faktor-faktor itu pula yang membuat orang tergoda berperilaku konsumtif, mereka membeli produk yang diinginkan bukan yang dibutuhkan. Cashflow jadi berantakan. Itu sebabnya OJK mengatur minimal penghasilan adalah Rp3 juta. Imbuhnya.
“Pay later telah merubah perilaku berbelanja masyarakat. bukan hanya di Indonesia, di belahan dunia lain juga. Penetrasi internet ke berbagai wilayah juga mendukung perubahan ini. Fenomena ini menarik perhatian para peneliti. Ada yang mengejutkan dari temuan mereka: literasi keuangan dan literasi digital keuangan tidak selalu berpengaruh positif terhadap pengambilan keputusan yang bijak pada pembelian poduk dan jasa layanan melalui pay later. Pengetahuan tinggal pengetahuan demikian pula ketrampilan, pengaruh lingkungan soal gaya hidup dan keinginan untuk diterima oleh lingkungan, mampu mengalahkan sikap dan perilaku yang bertanggung jawab. Peneliti mengaitkan perilaku ini dengan faktor psikologis seperti belanja impulsive dan kompulsif (yang tidak dibahas di sini)” Nah terpulang kepada pengguna pay later, mau terinklusi atau terjebak? pungkas Anis.