Bisnis.com, SURABAYA - Elemen petani yang tergabung dalam Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI) Jember mengajukan keberatan atas langkah pemerintah memperketat industri tembakau. Salah satu poin penting yang dipersoalkan yakni dorongan penurunan kadar tar dan nikotin.
Tembakau lokal memiliki kandungan tar dan nikotin tinggi, berbanding terbalik dengan tembakau impor. Oleh karenanya, petani menilai pengetatan regulasi industri tembakau hanya akan berujung terbukanya kran impor tembakau lebih lebar.
Ketua Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI) Jember, Suwarno, menilai implementasi PP 28/2024 ini nantinya bisa membunuh mata pencaharian mereka. Komoditas tembakau disamakan dengan zat adiktif berbahaya merupakan kebijakan yang tidak adil.
"Kami, petani tembakau yang tergabung dalam APTI Jember, menolak peraturan yang berupaya menerapkan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan," ujar Suwarno dalam rilis, Selasa (1/10/2024).
Suwarno menjelaskan, aturan ini akan mengancam mata pencaharian petani tembakau di Kabupaten Jember, yang sebagian besar bergantung pada tembakau sebagai sumber pendapatan utama. Saat ini, sekitar 40 ribu petani tembakau di Jember mengelola sekitar 22 ribu hektare lahan tembakau jenis Na Oogst, Kasturi, dan rajang.
"Selama ini, tembakau telah menjadi hidup bagi banyak orang di Jember. Bahkan, logo Pemkab Jember pun menampilkan gambar tembakau," tambah Suwarno.
Baca Juga
Suwarno juga khawatir bahwa regulasi ini bisa membuka pintu bagi produk tembakau impor, yang akan semakin menyulitkan petani lokal. "Kami khawatir ini akan membuka jalan bagi produk luar negeri untuk masuk, termasuk di Jember. Tembakau Na Oogst yang berstandar internasional hanya tersisa di Jember. Kita harus mempertahankan ini," tegasnya.
Suwarno meminta agar PP Nomor 28 Tahun 2024 direvisi untuk memberi kesempatan kepada petani tembakau agar tetap bisa menanam. "Jika mencabut aturan itu tidak memungkinkan, maka kami meminta agar PP tersebut direvisi," katanya.
Peneliti ahli utama Pusat Riset Hortikultura dan Perkebunan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Prof Djajadi mengatakan aturan kadar tar dan nikotin dalam PP 28/2024 represif terhadap tembakau dan industri hasil tembakau.
"Yang dicantumkan di kemasan itu diukur dari asap rokoknya. Sementara rokok sendiri adalah campuran beberapa jenis tembakau. Yang kadar nikotinnya tinggi, dicampur yang sedang dan rendah sehingga blending tembakau menghasilkan rasa dan aroma yang disukai konsumen. Jadi kalau kadar tar dan nikotinnya diubah akan berdampak ke rasanya,” tuturnya.
Ia mengatakan tembakau lokal umumnya memiliki kadar nikotin tinggi. Misalnya tembakau Temanggung yang termasuk tembakau aromatis seperti tembakau Srintil, kadar nikotinnya bisa sampai 8%. Lalu tembakau Madura bisa sampai 5%, tembakau Kasturi Jember sekitar 4%. Jenis-jenis tembakau tersebut umumnya digunakan untuk rokok kretek. Sedangkan tembakau virginia yang banyak diimpor kadar nikotinnya sekitar 3%.
Ia menuturkan, tinggi rendahnya kadar dan nikotin dipengaruhi beberapa faktor. Selain faktor intrinsik yang ada secara genetik di tembakau tersebut, kadar nikotin juga dipengaruhi faktor lingkungan. Seperti, ketinggian lahan, sinar matahari, penggunaan pupuk hingga apakah tanaman tembakaunya dilakukan pemangkasan atau tidak.
Industri rokok selama ini memodifikasi kadar tar dan nikotin menggunakan filter dengan kerapatan tertentu dan kertas yang digunakan. Tapi jika kedua teknik tersebut sudah mentok, tentu mereka akan menyerap tembakau-tembakau yang kadar nikotinnya lebih rendah agar bisa memenuhi aturan yang ditetapkan. Akibatnya tentu saja serapan tembakau petani akan menurun.