Bisnis.com, MALANG — Sebanyak 57% anak muda berusia di bawah 40 tahun yang masuk di DPR terindikasi memiliki hubungan dengan politik dinasti, kekerabatan, dan oligarki.
Direktur Eksekutif DEEP Indonesia, Neni Nurhayati, mengatakan indeks demokrasi Indonesia masih pada taraf demokrasi yang cacat. Indikasinya antara lain terkait anak muda anggota dewan di atas.
“Melihat situasi seperti ini, maka akan susah untuk bisa bergerak bebas dan fair dalam persaingan menuju parlemen. Indikasi ini juga menutup ruang anak-anak muda untuk bisa masuk sistem. Mungkin ada beberapa yang punya modal sosial, tapi sayangnya tidak memiliki modal kapital. Ini tentu mempersulit anak-anak muda untuk berkecimpung,” katanya dalam Diskusi Harmoni Membangun Negeri, di Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), Senin (13/5/2024).
Reformasi politik yang digaungkan oleh partai politik, kata dia, juga sukar untuk dilakukan, melihat beberapa partai politik yang tidak melakukan reformasi partai dengan menjadi ketua partai bertahun-tahun.
Menurut dia, bagaimana bisa memberikan kesempatan dan peluang anak muda juga partainya saja enggan untuk melakukan reformasi. Maka salah satu peran anak muda yang bisa dilakukan dalam menghadapi hal ini adalah dengan merebut narasi publik yang masih kosong. Termasuk narasi-narasi yang ada di media sosial.
“Perubahan besar tidak akan terjadi jika tidak dimulai dengan perubahan-perubahan kecil. Kita harus saling bahu membahu dan berkolaborasi,” tegasnya.
Baca Juga
Dalam kesempatan yang sama, Jubir Menteri Pertahanan, Dahnil Anzar Simanjuntak, menjelaskan bahwa kebanyakan masyarakat yang ekonominya lemah biasanya berlalu dan melanjutkan hidup mereka setelah Pemilu usai. Sementara, sebagian kelas menengah ke atas akan ‘tantrum politik’ dan benci dengan lawan politik terpilih.
“Kalau ingin demokrasi kita bisa sehat, salah satu syaratnya adalah tingkat pendidikan masyarakat yang baik. Sementara, rata-rata lama sekolah masyarakat kita hanya ada di kisaran 7,2 tahun atau bisa dibilang tidak lulus SMP. Maka pendidikan politik itu penting dan harus meluas ke seluruh kelompok,” katanya.
Menurutnya, pendiri Muhammadiyah KH. Ahmad Dahlan selalu bersikap kooperatif. Beberapa peneliti juga menyebut sikap ini sebagai rival politik atau di era sekarang disebut dengan mitra kritis.
“Kalau menurut saya, politik Mbah Dahlan (KH Ahmad Dahlan-red) ini adalah politik yang alokatif, tidak misuh ke Belanda secara terbuka tapi terus meningkatkan akselerasi sosial dan dahwah melalui Muhammadiyah,” katanya.
Terkait Pemilu, dia menilai, demokrasi Indonesia masih cukup berantakan. Intelektualitas yang baik dan rekam jejak tidak akan berpengaruh besar jika tidak ada dana atau uang.
Saat ini, politik dikuasai oleh mereka yang memiliki darah politik atau oleh mereka yang memiliki uang yang banyak. Meski begitu, ia juga memberikan cara untuk menghadapinya yakni dengan politik ta'awun atau politik gotong royong.
Cendekiawan Muhammadiyah. Prof. Zuly Qodir, menilai masyarakat Indonesia memiliki kekuatan sosial yang dapat digunakan untuk mengatasi tantangan sosial.
Dalam konteks politik, dia menekankan, pemilihan calon kandidat seharusnya didasarkan pada nurani individu, bukan sekadar aliran atau janji manis semata.
“Sementara itu, peran anak muda menjadi kunci dalam menggalang perubahan menuju demokrasi yang lebih baik. Untuk itu, mereka perlu memiliki modal sosial yang kuat, termasuk saling percaya dan bekerja sama untuk membangun harmoni dalam kehidupan berdemokrasi,” ujarnya.
Keterlibatan anak muda dalam struktur politik juga menjadi esensial dengan memberikan perhatian dan empati kepada pemimpin. Terlebih, hal ini juga berfokus pada reformasi sistem pendidikan. Dengan demikian, keterlibatan anak muda memberikan perubahan yang signifikan dalam menciptakan transformasi positif bagi masa depan demokrasi Indonesia.(K24)