Bisnis.com, SURABAYA - Research Group Tobacco Control (RGTC) Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Airlangga (Unair) menilai penegakan Peraturan Daerah (Perda) Kawasan Tanpa Rokok (KTR) di Kota Surabaya saat ini masih perlu ditingkatkan.
Di Kota Surabaya saat ini terdapat 8 sarana yang masuk dalam KTR, di antaranya adalah sarana kesehatan, sarana pendidikan, area bermain anak, tempat ibadah, angkutan umum, tempat kerja, dan tempat lainnya yang diatur oleh wali kota.
Ketua RGTC FKM Unair, Santi Martini menjelaskan, Kota Surabaya telah menginisiasi dan sedang mengimplementasikan Perda No. 2/2019 dan Perwali No. 110/2021 tentang KTR. Pada 5 tahun berjalan pelaksanaan regulasi KTR yang sedang berjalan ini perlu diikuti dengan monitoring dan evaluasi.
“Monitoring dan evaluasi adalah proses yang memungkinkan pembuat kebijakan dan pengelola program untuk menilai bagaimana intervensi berkembang dari waktu ke waktu, efektifitas suatu program dilaksanakan dan kesenjangan antara hasil yang direncanakan dan hasil yang dicapai, dan perubahan kesejahteraan dari program yang dibuat,” jelasnya, Kamis (21/12/2023).
Meski penerapan Perda KTR di Surabaya sudah cukup baik, tetapi masih ditemukan banyak iklan rokok. Menurutnya hal ini menjadi PR Kota Surabaya agar tidak ada lagi iklan rokok. Dari data riset Kementerian Kesehatan, ternyata iklan rokok sangat mempengaruhi anak-anak dan remaja untuk metokok.
“Pada 2012 ada penurunan prevalensi perokok di kalangan anak-anak itu masih sedikit, mungkin kalau dikalikan jumlah anak absolut mungkin tidak terlalu berpengaruh karena jumlah penduduk juga terus bertambah,” imbuhnya.
Baca Juga
Santi menambahkan, untuk di lingkungan kampus Unair sudah menerapkan Perda KTR melalui peraturan yang dikeluarkan Rektor Unair serta melakukan monitoring oleh satgas di kawasan kampus.
“Memang kadang masih ditemukan puntung rokok, tetapi terutama yang jadi masalah adalah tamu. Kalau warga/mahasiswa/dosen dan staf itu sudah paham,” imbuhnya.
Direktur P2PTM Kemenkes RI, Eva Susanti menjelaskan, terdapat 9 target global pengendalian Penyakit Tidak Menular (PTM) 2025 salah satunya adalah penurunan konsumsi tembakau hingga 30%.
Sementara untuk indikator RPJMN 2020-2024, target 2023 adalah 8,8%. Namun ditinjau dari data dan fakta penyakit tidak menular, saat ini stroke, penyakit jantung iskemik, dan diabetes melitus menduduki 3 besar penyakit yang menyebabkan kematian terbanyak di Indonesia.
“Melihat fenomena 2022, terlihat peningkatan jumlah pembiayaan penyakit katastropik yang memakan biaya Rp24,06 triliun, di mana penyakit kardiovaskuler (jantung dan stroke) adalah pembiayaan terbesar pada JKN (Rp15,37 triliun), oleh karena itulah PTM menjadi silent killer dan mother of disease,” paparnya.
Untuk itu, katanya, skrining PTM menjadi prioritas sebagai salah satu langkah menurunkan risiko penyakit katastropik yang membebani JKN. Berbagai upaya yang dapat kita dilakukan untuk menurunkan PTM dengan mengendalikan faktor risikonya termasuk peran bersama dalam menurunkan prevalensi merokok pada anak-remaja sebagai upaya mewujudkan generasi sehat di masa depan (Generasi Emas 2045).
“Implementasi KTR di daerah juga sangat penting sebagai upaya menekan prevalensi perokok pemula, dan bagi yang sudah terlanjur merokok, adanya layanan Upaya Berhenti Merokok (UBM) perlu terus diperkuat hingga menjangkau anak-remaja di satuan pendidikan,” imbuhnya.
World Health Organization (WHO) melaporkan, epidemi merokok telah menyebabkan lebih dari 5 juta orang meninggal sebagai perokok aktif dan sekitar 600.000 orang meninggal akibat terpapar asap rokok orang lain (perokok pasif) setiap tahun.
Saat ini, lebih dari 60 juta penduduk Indonesia merupakan perokok aktif. Jumlah ini terus bertambah dari tahun ke tahun dan menempatkan Indonesia di peringkat ketiga di dunia setelah China dan India. Angka perokok remaja juga terus meningkat dari tahun ke tahun. Menurut Riskesdas dari 2007 sampai 2018 menunjukkan adanya kecenderungan peningkatan perokok di kalangan remaja, terutama perokok wanita.