Bisnis.com, SURABAYA - Pasar properti terutama hunian residensial seperti landed house (rumah tapak) dan apartemen di segmen end user (pengguna) menjadi pasar yang paling seksi untuk dibidik dalam beberapa tahun terakhir pascapandemi Covid-19.
Bergairahnya segmen end user ini sejalan dengan tingkat kebutuhan rumah yang masih tinggi. Pemerintah Indonesia mencatat, tahun ini masih ada backlog sekitar 12,71 juta unit rumah, sementara laju pertumbuhan keluarga baru yang membutuhkan rumah berkisar 700.000-800.000 keluarga per tahun.
Kepala Bank Indonesia Jatim Doddy Zulverdi mengatakan tidak mudah mengejar angka backlog yang terus naik karena dari sisi pasokan lahan semakin terbatas terutama di perkotaan, serta harga rumah yang tidak murah.
“Masalah pasokan rumah harus dikejar, artinya ini potensi bagi developer untuk meningkatkan ekspansi karena pasar masih sangat terbuka bahkan dalam jangka panjang. Perlu strategi penyediaan rumah, apakah konsepnya, dan luasan lahannya, bergantung ceruk pasarnya,” jelasnya kepada Bisnis pekan lalu.
Menurutnya, masalah lahan yang semakin terbatas harus ada dorongan bagi pengembang untuk menambah landbank agar tidak dimanfaatkan spekulan tanah. Dalam hal ini, pemda juga punya peran untuk mengamankan peruntukan lahan sesuai tata ruang.
Survei Harga Properti Residensial (SHPR) di Surabaya dan sekitarnya yang dilakukan Bank Indonesia mengindikasikan Indeks Harga Properti Residendial (IHPR) kuartal II/2023 tercatat 107,25 atau tumbuh 1,14 persen (yoy), melambat dibandingkan kuartal sebelumnya 1,56 persen (yoy). Penjualan rumah pada kuartal II/2023 terkontraksi 5,73 persen (yoy).
Baca Juga
Hambatan penjualan yang utama adalah kenaikan harga bangunan serta perpajakan, sejalan dengan berakhirnya pemberian insentif PPN Pajak Pertambahan Nilai Ditanggung Pemerintah (PPN DTP) pada 30 september 2022.
Meski pasar properti sedikit melambat, kata Doddy, tapi survei konsumen di Jatim pada Juli 2023 masih mengindikasikan keyakinan konsumen yang optimistis terhadap kondisi ekonomi hingga akhir tahun.
Ketua Persatuan Perusahaan Realestat Indonesia (REI) Jatim, Soesilo Efendy mengatakan tahun ini pengembang di Jatim memasang target pengembangan proyek naik 30 persen.
“Di hampir penghujung tahun, jujur saja target yang dipasang belum maksimal. Bisa saja karena tahun politik, tapi sekarang pasar lebih hati-hati karena investasi properti tidak murah. Jadi pembeli properti tahun ini adalah real buyer (end user). Mereka beli karena butuh rumah,” jelasnya.
Kendala lain adalah seputar perizinan yang berbeda di setiap daerah, apalagi baru-baru ini pemerintah mengganti istilah Izin Mendirikan Bangunan (IMB) dengan Persetujuan Bangunan Gedung (PBG) yang belum semua daerah mengganti perdanya.
Dari sisi aturan di daerah terkadang juga terbentur Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) karena ada tanah untuk perumahan, ada juga Lahan Sawah Dilindungi (LSD). Mendapatkan lahan murah, tetapi belum tentu untuk perumahan.
“Begitu juga dari sisi kredit rumah di perbankan yang saat ini makin selektif, ketat. Bank juga melihat siapa usernya, developernya, izinnya, dan prosesnya. Jadi perlu penyesuaian,” imbuh Soesilo.
Meski begitu, tambahnya, secara umum harga rumah rerata di Jatim yang banyak diminati berada di segmen Rp500 jutaan terutama di luar Surabaya. Sedangkan di Surabaya saat ini rerata sudah di atas Rp1 miliar.
Program Jelajah Properti Jatim didukung oleh PT Bank Pembangunan Daerah Jawa Timur Tbk (Bank Jatim), PT Bank Central Asia Tbk (BCA), CitraLand Surabaya, PLN Unit Induk Distribusi (UID) Jawa Timur, Honda Surabaya Center, Waringin Hospitality, Sadz Water. Kegiatan ini bertujuan memotret geliat usaha properti di sejumlah titik di Jawa Timur. |