Bisnis.com, SURABAYA - Secercah asa menyambut event akbar di convention centre selatan.
Setelah 3 tahun pandemi akhirnya terbukalah peluang untuk berinteraksi langsung dengan end user yang adalah real buyer.
Segala persiapanpun di matangkan. Mengingat krisis yang terus berkepanjangan, harga komoditas terus menurun, demand belum juga terlihat akibat tingginya angka real inflation.
Namun harapan itu seketika sirna saat memasuki ajang pameran, karena tampak deretan booth import product yang menyambut di baris paling depan, seketika itu juga sudah terbayang apa yang akan terjadi di hari hari selanjutnya.
Ketika berkeliling di area pameran, terlihat jelas bahwa booth Industry Dalam Negri terkepung booth import product, ah.. ternyata pameran ini adalah miniature dari apa yang terjadi di real market, dimana mulai beras, gandum, kedelai, gula, daging, susu, sepatu, textile, garment, mainan hingga Baja yang adalah Mother of All Industries, sebagai bagian dari Industry Strategis Nasional di dominasi oleh import product.
Yang lebih miris adalah saat para pengepung ini dengan agresif menawarkan product mereka, justru ke booth Produsen Dalam Negri, mungkin karena ketidak pahaman bahasa dan adanya aturan SNI, mereka menawarkan Baja Lapis Alumunium Seng dengan ketebalan 0.11 mm, misalnya. Sekedar sebagai gambaran Standard Ketebalan Minimum sesuai Standard Nasional Indonesia adalah 0.20 mm.
Bahkan ada juga yang menyampaikan jika kesulitan prosedur import, maka mereka ada agent yang bisa membantu.
Maka dapat dibayangkan ketebalan 0.11 mm sudah pasti lebih tipis dari kaleng kerupuk, bahkan lebih tipis, getas dan ringkih dari kerupuk itu sendiri, lantas dimana adanya perlindungan terhadap konsumen?
Baja Lapis Alumunium Seng atau lebih dikenal dengan nama Galvalume, dengan variasi ketebalan mulai 0.11 mm, 0.12 mm, 0.14 mm, 0.15 mm ditawarkan oleh supplier yang jumlahnya lebih dari jumlah jari ditangan, arti harfiahnya adalah ditawarkan oleh cukup banyak supplier, secara terbuka dan terang terangan.
Dan kami hanya dapat terperangah dan teringat ingat mulai proses Sertifikasi SNI, Edukasi Mengenai Keselamatan Pelanggan, Audit SNI, Himbauan Rutin hingga Penindakan bagi Industri Dalam Negri tertentu untuk Product Product yang dianggap sedikit kurang memenuhi persyaratan SNI, lantas mengapa di ajang resmi sebesar ini begitu terbukanya ditawarkan Product Product Non SNI ?
Di sisi lain untuk Perlindungan Konsumen, Industry Dalam Negeri Merasa Berkewajiban dan Diwajibkan untuk Compliance terhadap Standard SNI, dengan rambu rambu yang sudah jelas, baik dari sisi Audit SNI, Persyaratan Persayaratan dari Kementrian terkait ataupun Undang Undang Perlindungan Konsumen.
Kilas balik ke tahun 2022, dimana Industry Pengolahan menurut data BPS mempunyai kontribusi sebesar 3.591.8 Triliun atau 18.43 % terhadap PDB dan sesuai data Kemenperin menyerap 19.172.397 pekerja atau 14.17 % dari Tenaga Kerja Nasional.
Negara negara lain bahkan sampai di level pekerjanya pun menyadari benar hal ini.
Karena jika product non specification itu ditambah lagi dengan strategy tax rebate dan dumping price oleh negara negara yang memang memiliki super orientasi export, maka terciptalah tiga kata kombinasi yang dapat mematikan industry manufaktur di negara tujuan exportnya, yaitu : Dumping Price, Tax Rebate dan Under Specification Products.
Inilah pemicu Trade War, sebuah sikap tegas untuk Melindungi Kepentingan Industry Dalam Negri dari negara yang sebelumnya mencetuskan konsep dan ide Perdagangan Bebas.
Sayup sayup terdengar mahasiswa pekerja magang di booth sebelah sedang membaca article di web investor.id, sambil menahan kantuk karena sepinya pengunjung,
“Dampak buruk yang ditimbulkan deindustrialisasi atau penurunan porsi manufaktur terhadap produk domestik bruto (PDB), salah satunya adalah lapangan pekerjaan bakal menyempit akibat menurunnya skala industri. Lapangan kerja yang menyusut akan melipat gandakan angka pengangguran dan kemiskinan. Dampak buruk lainnya, penerimaan pajak bakal terpangkas karena industri manufaktur menyumbang 30-40% terhadap penerimaan pajak. Tanda-tanda deindustrialisasi sangat terasa dalam lima tahun terakhir. Pada 2014, kontribusi industri manufaktur terhadap PDB masih 21,34%. Namun, pada 2015, 2016, 2017, dan 2018 turun secara konsisten masing-masing menjadi 20,99%, 20,52%, 20,16%, dan 19,6%.“, dandi tahun 2022 menurun lagi menjadi 18.43 %.
Termenung dan berpikir, “Kepada Siapakah Industry Dalam Negri harus mengadu? Apakah ini Termasuk Dalam Visi Dari Pemimpin Berikutnya?“