Bisnis.com, SURABAYA — Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat sejak 2018 hingga 2022 terdapat sebanyak Rp16,7 triliun kerugian masyarakat akibat investasi ilegal yang hingga saat ini masih mengancam.
Deputi Direktur Pelayanan Konsumen OJK, Hudiyanto menjelaskan, secara rinci total kerugian masyarakat yang menjadi korban investasi ilegal sejak 2018 tercatat sebanyak Rp1,4 triliun, lalu pada 2019 mencapai Rp4,1 triliun dan semakin meningkat pada 2020 mencapai Rp5,9 triliun.
“Kemudian pada 2021, nilai kerugian akibat investasi ilegal tercatat mulai menurun menjadi Rp2,51 triliun, dan pada 2022 sebanyak Rp2,91 triliun sehingga secara total di sepanjang 2018 - 2022 mencapai Rp16,7 triliun, dan uang tersebut sudah benar-benar tidak ada, kan sayang sekali,” jelasnya saat menggelar Journalist Class OJK, Senin (8/5/2023).
Dia mengatakan penyebab maraknya investasi ilegal ini terjadi dari sisi pelaku karena adanya kemudahan membuat aplikasi, web dan penawaran melalui media sosial, serta banyaknya server di luar negeri.
“Dari sisi masyarakat, investasi ilegal ini marak karena masyarakat mudah tergiur bunga tinggi dan belum memahami investasi,” katanya.
Sejauh ini, OJK telah melakukan upaya pencegahan melalui edukasi masyarakat luas, dan crowding data melalui sistem waspada investasi ilegal. Dalam upaya penanganan investasi ilegal, kata Hudiyanto, OJK juga langsung mengumumkan investasi ilegal kepada masyarakat, serta cyberpatrol dan mengajak blok situs dan aplikasi secara rutin kepada Kominfo, serta laporan kepada Bareskrim Polri.
Baca Juga
OJK mengimbau agar masyarakat tidak mudah tergiur dengan investasi yang menawarkan bunga tinggi atau belum terdaftar di OJK mengingat kerugian uang yang dialami korban investasi ilegal hingga saat ini sudah sulit untuk kembali karena sudah digunakan oleh pelaku atau sudah dibagi-bagi kepada member-member lama.
“Apabila menerima penawaran investasi dengan iming-iming imbas hasil tinggi, masyarakat perlu mengenali dulu dengan cara cek legal status perizinan (badan hukum dan produk), ldan harus logis bahwa imbal hasil wajar dan memiliki risiko,” jelasnya.
Hudiyanto juga membeberkan sejumlah ciri-ciri investasi ilegal yang perlu diwaspadai di antaranya seperti menjanjikan keuntungan tidak wajar dalam waktu cepat, menjanjikan bonus dari perekrutan anggota baru (member get member), memanfaatkan tokoh masyarakat/tokoh agama/public figure untuk menarik minat investasi, dan klaim tanpa risiko (free risk).
“Selain itu, ciri-ciri investasi ilegal juga bisa dilihat dari legalitas yang tidak jelas seperti tidak memiliki izin usaha, memiliki izin kelembagaan seperti PT, CV, Yayasan dan lainnya tapi tidak punya izin usaha, serta memiliki izin kelembagaan dan izin usaha tetapi melakukan kegiatan yang tidak sesuai dengan izinnya,” jelasnya.
Deputi Direktur Manajemen Strategis, EPK, dan Kemitraan Pemda OJK Regional 4 Jatim, Ismirani Saputri menambahkan, saat ini gap antara literasi dengan inklusi keuangan masih cukup tinggi. Secara nasional per 2022 tingkat inklusi keuangan sudah mencapai 85,10 persen, tetapi inklusi keuangan masih 49,68 persen.
“Sedangkan di Jatim indeks inklusi keuangan sudah mencapai 92,99 persen, tetapi literasinya masih terpaut jauh yakni 55,32 persen. Gap terkait pemahaman/pengetahuan masyarakat terhadap produk-produk keuangan ini yang masih menjadi PR bagi OJK untuk meningkatkan literasnya agar seimbang dengan inklusi,” katanya.