Bisnis.com, SURABAYA - Para pelaku usaha pertembakauan dan cengkih di Jawa Timur menolak revisi Peraturan Pemerintah (PP) No.109 Tahun 2012 tentang pengamanan bahan yang mengandung zat adiktif berupa produk tembakau bagi kesehatan.
Ketua Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (Gappri), Henry Najoan mengatakan revisi PP tersebut dinilai bukan cara yang tepat dalam mencapai tujuan menekan prevelensi perokok di Indonesia terutama pada anak-anak.
“Revisi ini malah akan lebih banyak membawa kehancuran bagi Industri Hasil Tembakau (IHT) legal karena aturannya menjadi semakin restriktif dan menutup ruang untuk berusaha. Padahal selama ini IHT sudah tertekan karena pengenaan tarif cukai yang semakin tinggi, pembatasan promosi, penjualan, dan lain sebagainya,” ujarnya dalam Sarasehan Ekosistem Pertembakauan, Rabu (22/2/2023).
Dia mengatakan PP 109/2012 ini sebenarnya sudah ideal karena mengatur dengan baik kegiatan pemasaran produk tembakau sebagaimana mestinya. Namun hal ini belum diikuti dengan kegiatan edukasi serta pengawasan yang tepat.
“Edukasi dan pengawasan inilah yang semestinya didorong oleh pemerintah, dan bukan malah merevisi peraturan yang sudah baik menjadi restriktif sehingga berdampak pada jutaan orang yang menopangkan hidupnya pada industri tembakau,” tambahnya.
Sekjen Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI), Mahmudi menyebutkan, revisi PP tersebut bisa berdampak pada penurunan harga tembakau petani akibat turunnya serapan tembakau oleh industri, luas area lahan tembakau dan jumlah petani akan berkurang dan lapangan pekerjaan dari hulu (perkebunan) sampai hilir di industri dan perdagangan akan menurun.
Baca Juga
“Petani dan industri adalah saudara, jika industri dicubit, yang sakit ya petani karena sampai saat ini belum ada peruntukan lain dari tembakau selain untuk rokok dan susur. Kalau PP ini direvisi, kami yakin jumlah perokok juga tidak akan berkurang tetapi harus ada keadilan karena pendapatan pemerintah dari cukai itu naik, maka petani juga harus dapat input, jangan cukai naik, harga tembakau tetap saja,” ujarnya.
APTI mencatat tanaman tembakau di Indonesia dikembangkan di 15 provinsi dan kurang lebih ada di 92 kota/kabupaten dengan total luas area pada 2021 mencapai 218.477 ha, dan jumlah produksi 244.414 ton. Jumlah petani tembaku di Indonesia mencapai lebih dari 1,54 juta orang dengan menyerap buruh tani sebanyak 10,73 juta orang.
“Tembakau sebagai bahan baku utama rokok masih menjadi komoditi unggulan bagi petani dan pemerintah setiap tahun, tentunya komoditi ini memberikan dampak positif pada perekonomian rakyat dan kas negara dengan target pemasukan cukai 2023 mencapai Rp203 triliun,” imbuhnya.
Anggota Komisi XI DPR RI, Mukhamad Misbakhun meminta pemerintah untuk bersikap bijak dan obyektif dengan melindungi IHT mengingat industri ini adalah salah satu kontributor penerimaan negara terbesar.
“Ada mata rantai kehidupan dalam tembakau mulai dari pertanian sampai fabrikasi, lalu di antara petani dengan pabrik, ada pedagang. Ini menjadi ekosistem tersendiri. Maka ketika mengambil keputusan terkait IHT, perlu dilihat dari seluruh aspek mulai dari petani, lapangan kerja, potensi produk ilegal, dan potensi penerimaan negara, jadi tidak hanya aspek kesehatan,” ujarnya.
Ketua Kadin Jatim, Adik Dwi Putranto menambahkan, dalam menghadapi kondisi ekonomi dan politik dunia yang tidak menentu, IHT sepatutnya diperlakukan secara adil dan diberi perlindungan yang sama dengan industri lainnya.
“Output dari sarahsehan para pemaku kepentingan sektor pertembakuan ini salah satunya adalah petisi untuk menolak revisi PP 109/2012 yang nantinya akan disampaikan dalam sebuah surat resmi kepada Presiden RI,” ujarnya.
Seperti diketahui, saat ini pemerintah tengah melakukan revisi PP No.109/2012 lantaran dinilai belum efektif menurunkan prevalensi perokok pada anak.
Kemenko Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK) mencatat, pada 2018 sebanyak 75 persen perokok pemula dimulai dari usia di bawah 20 tahun. Bahkan 23,1 persen perokok pemula memulainya dari usia 10 - 14 tahun, dan sebanyak 52,1 persen dari usia 15 - 19 tahun.
Populasi anak usia 10 - 18 tahun pada 2018 tercatat sebanyak 36.289.154 jiwa. Dari jumlah itu, sebanyak 9,1 persen atau setara 3.302.313 jiwa sudah jadi perokok. Padahal pada 2013, jumlah perokok anak hanya 7,2 persen atau setara 2,9 juta jiwa.
Pada 2024 diprediksi akan ada penambahan jumlah anak usia 10 - 18 tahun atau sebanyak 37.168.850 jiwa. Tanpa penguatan intervensi prevelensi perokok anak, dikhawatirkan perokok anak bisa mencapai 15 persen (5.575.328 jiwa).
“Tujuan revisi PP 109/2012 adalah untuk menurunkan presentase merokok. Dalam RPJMN 2020 - 2024, persentase merokok penduduk usia 10 - 18 tahun pada 2024 ditargetkan bisa turun menjadi 8,7 persen,” ujar Staf Ahli Bidang Sustainable Development Goals Kemenko PMK, Agus Suprapto.