Bisnis.com, MALANG - Tragedi Kanjuruhan, kericuhan pasca laga Arema FC dan Persebaya Surabaya, Sabtu (1/10/2022) hingga Minggu (2/10/2022), menorehkan rasa perih bagi mereka yang saat itu hadir di lokasi.
Bagaimana tidak, kericuhan menyebabkan puluhan orang bergelimpangan membutuhkan pertolongan, tapi tak banyak yang bisa dilakukan. Belakangan diketahui 125 orang meninggal, ratusan orang lain dirawat akibat kejadian tersebut.
Aditya (28), warga Kedungkandang, Kota Malang, memberikan kesaksian itu karena termasuk salah satu dari 40.000 penonton yang memadati Stadion Kanjuruhan, Kepanjen, Kab. Malang. Peristiwa chaos itu bermula setelah wasit meniupkan peluit panjang panjang sebagai tanda berakhirnya pertandingan.
Pertandingan dengan skor 3:2 untuk kemenangan Persebaya mengecewakan penonton. Seusai pertandingan, pemain Persebaya berlari ke tempat ganti, sedangkan pemain Arema masih di tengah stadion, namun tidak melakukan selebrasi dengan menyanyikan anthem karena kalah.
Tiba-tiba, dua suporter Aremania turun ke tengah stadion untuk memberikan dukungan ke pemain sekaligus menanyakan mengapa sampai kalah dengan Persebaya. Namun, Panpel menghalau dan mereka setuju untuk kembali ke tribun.
Namun dari sisi utara dan selatan tribun, belasan suporter turun ke lapangan. Tujuannya sama, menanyakan sebab kekalahan Arema sekaligus tetap memberikan dukungan kepada tim-nya. Mereka kemudian dihalau aparat keamanan.
Baca Juga
Sebelum sampai dan naik ke tribun, tiba-tiba polisi menembakkan gas air mata ke tribun bagian utara dan selatan. Suporter yang belum naik ke tribun mendapat tembakan gas air mata, membalas dengan melemparkan gas air mata ke polisi.
Dampaknya, polisi makin meningkatkan frekuensi penembakan gas air mata sehingga penonton pun panik. Mata mereka perih karena terkena gas air mata. Mereka pun berusaha keluar stadion, namun pintu 10-14 masih belum dibuka. Masih ditutup.
Oleh karena itulah, terjadi desak-desakan antarpenonton, ada yang mengalami sesak napas, dan bahkan terinjak. “Stadion ful dengan gas air mata,” kata karyawan swasta tersebut.
Beberapa orang kemudian berusaha keluar lewat pintu keluar VIP. Pintu stadion kemudian dibuka, namun tidak dibuka seluruhnya sehingga penonton berdesakan agar dapat keluar. Dampaknya ada yang tergencet. Korban tampak nyata di depan mata.
Stadion diwarnai dengan isak tangis, terutama penonton perempuan dan anak-anak. Tim medis kewalahan menangani korban luka dan meninggal. Banyak ditemukan pemandangan memilukan di dalam stadion. Kondisinya mencekam, ada mayat di samping loket sisi selatan, ruang ganti pemain, musala, ruang kesehatan, dan lobby.
“Saya melihat ibu menangis di depan jenazah anaknya, anak-anak menangis mencari orang tuanya yang terpisah, dan bapak menangis di depan anaknya. Saya trenyuh, ikut meneteskan air mata melihat pemandangan itu,” katanya.
Melihat kondisi tersebut, muncul solidaritas kemanusian sesama suporter. Mereka yang selamat membantu mengevakuasi jenazah maupun korban luka untuk dibawa ke RS, tanpa mengenal satu sama lainnya.
“Saya sempat tanya kepada Arema asal Bululawang yang tengah membantu mengevakuasi korban, ternyata yang bersangkutan tidak kenal dengan korban,” katanya.
Pada pukul 02.00 dini hari, baru Stadion Kanjuruhan dalam kondisi tenang. Hal itu terjadi karena Aremania berkonsentrasi untuk menolong dengan mengevakuasi korban ke RS. Mereka juga mengantar korban ke RS sehingga stadion menjadi sepi.
Menurutnya Tragedi Kanjuruhan bukan dipicu hasil pertandingan, namun lebih sebagai responS represif petugas keamanan. Buktinya, fasilitas stadion tidak ada yang rusak. Tribun stadion utuh, begitu juga papan skor.
“Biasanya kalau suporter tidak puas dan protes atas hasil pertandingan, mereka merusak fasilitas stadion,” ujarnya.
Bagaimanapun, tragedi Kanjuruhan perlu menjadi pembelajaran bersama agar peristiwa tidak sampai terulang kembali.(K24)