Bisnis.com, SURABAYA - Himpunan Nelayan dan Pengusaha Perikanan (HNPP) di Probolinggo Jawa Timur menyebut produktivitas perikanan tangkap di Jatim dalam dua tahun terakhir ini turun hingga 40 persen.
Raymon, Ketua Himpunan Nelayan dan Pengusaha Perikanan (HNPP) Samudra Bestari, mengatakan penurunan produksi ikan tangkap ini dipengarui oleh sejumlah faktor seperti cuaca yang tidak menentu pada bulan kedua hingga keempat tahun ini sehingga tangkapan ikan turun 30 - 40 persen.
“Biasanya satu kapal berlayar selama 40 hari bisa dapat 20 ton ikan, sekarang hanya 15 - 20 ton. Untuk bisa penuh ikannya dibutuhkan 2,5 bulan, ini bisa menjadi high cost,” ujarnya, Rabu (8/6/2022).
Dia mengatakan rendahnya produktivitas ini juga diiringi dengan kenaikan harga bahan bakar solar di kawasan Laut Aru Maluku yang dulu cuma Rp8.000 - Rp9.000/liter, sekarang menjadi Rp15.500/liter.
“Meskipun harga jual ikan yang kami tangkap sedikit naik di pasaran tetapi itu masih belum bisa menutup biaya operasional, begitu juga untuk biaya forwarding untuk ekspor akibatnya ekspor kita juga turun biasanya satu kapal bisa ekspor 200 ton, sekarang cuma 100 - 120 ton,” ujarnya.
Raymon mengatakan selama ini ikan nelayan Probolinggo sebanyak 40 persen diserap oleh pasar domestik dan sebanyak 60 persen diserap pasar ekspor yang menyasar Malaysia, Vietnam, Thailand dan China. Khusus untuk ikan olahan dari perusahaan partner nelayan selama ini mengekspor produk ke China dan Eropa.
Baca Juga
Dia mengatakan saat ini nelayan juga sedang dihadapkan dengan regulasi pemerintah terkait Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang dipungut melalui retribusi hasil perikanan. Bahkan untuk mengejar PNBP itu, kini kapal asing justru diperbolehkan menangkap ikan.
“Padahal zaman Bu Susi, asing dan modal asing dilarang tapi di 2022 aturan berubah, tiba-tiba semua boleh masuk dan boleh pakai alat yang tidak ramah lingkungan yaitu trol,” katanya.
Raymon mengatakan pengusaha perikanan sangat membutuhan kepastian hukum yang tidak berubah-ubah setiap ada pergantian pejabat. Menurutnya, aturan setidaknya berlangsung 10 tahun sehingga pengusaha yang telah terlanjut berinvestasi besar dapat menikmati hasilnya.
“Sekarang pakai sistem kuota untuk tangkap ikan di laut Aru, asing boleh, contohnya Taiwan mengajukan kuota 200.000 ton boleh, bahkan sampai trol udang kapal besar boleh di jalur dalam, sedangkan kita tidak boleh. Apakah ini hanya untuk mengejar PNPB,” ujarnya.
Nelayan di berbagai daerah pun telah memberikan pernyataan sikap melalui sejumlah tuntutan di antaranya revisi PP No. 85 Tahun 2021 terkait indeks tarif PNBP pasca produksi untuk ukuran kapal di bawah 60 grosston (GT) sebesar 2 persen, dan ukuran kapal 60 GT sampai 1.000 GT adalah 3 persen.
Kemudian menolak perikanan terukur dengan sistem kuota, menolak masuknya kapal asing dan eks-asing ke wilayah pengelolaan perikanan (WPP) Indonesia, penurunan tarif tambat labuh, meminta alokasi izin penangkapan 2 WPP yang berdampingan dan mengusulkan adanya BBM industri untuk kapal nelayan di atas 30 GT dengan harga maksimal Rp9.000/liter.
Diketahui, sekitar 350 kapal nelayan dari Probolinggo melakukan penangkapan ikan di kawasan perairan Laut Aru dan hasilnya akan dibawa kembali ke pelabuhan Probolinggo Jatim. Terdapat 60 jenis ikan yang ditangkap di Aru seperti kakap merah, kerapu dan berbagi jenis ikan karang lainnya.