Bisnis.com, MALANG — REI Malang mengusulkan kewenangan penerbitan persetujuan bangunan gedung atau PBG dan lahan sawah dilindungi atau LSD diserahkan sepenuhnya kepada daerah, yakni kota/kabupaten, sehingga penerbitannya bisa lebih cepat.
Ketua REI Komisariat Malang, Suwoko, mengatakan secara teoritis dengan pengajuan melalui OSS akan mempercepat penyelesaian izin, namun dalam praktiknya tidak sesuai dengan kenyataan.
“Seperti pengajuan PBG dengan menggunakan OSS, justru menjadi lama karena untuk meng-entry-nya ternyata tidak mudah,” katanya di Malang, Selasa (31/5/2022).
Hal itu terjadi karena yang meng-entry data ke OSS jumlahnya banyak sehingga tidak mudah masuknya. Oleh karena alasan itu maka penerbitan PBG menjadi lama, bisa mencapai satu tahun, padahal dengan sistem yang lama, IMB, justru paling lama enam bulan.
Begitu juga dengan LSD, kata dia, perlu kewenangan diserahkan ke daerah. Ada banyak problem jika ditangani pusat dengan sistem OSS.
Seperti kasus pengembang yang mempunyai persawahan teknis, namun sudah mengantongi izin, tetap merepotkan meski secara ketentuan tidak terkena peraturan baru jika izinnya telah diperoleh sebelum 2022.
Baca Juga
“Tapi kan tetap repot, karena pengembang harus menjelaskan ke pemerintah terkait status perizinannya,” ujarnya.
Dua hal tersebut, kata dia, menjadi masalah krusial bagi pengembang. Padahal momentum penjualan rumah membaik tinggi bersamaan dengan meredanya Covid.
“Kalau saat Covid, penurunan rumah yang lokasinya bagus mencapai 60 persen, 80 persen-90 persen sedangkan yang lokasinya kurang bagus,” katanya.
Setelah Covid mereda, dia memperkirakan, penjualan rumah akan meningkat pada Agustus sampai akhir tahun. Momentum itu perlu diimbangi dengan kemudahan perizinan sehingga ada kecepatan bagi pengembang untuk membangun rumah baru.
Wali Kota Malang, Sutiaji, setuju jika dua perizinan tersebut ditangani daerah karena dalam praktiknya memang sulit bagi pengusaha maupun bagi pemda. “Seperti perizinan toko ritel modern, kami di daerah tidak bisa menambahkan klausul toko harus menyerap produk UMKM lokal,” ujarnya.
Pengajuan PBG, kata dia, menjadi lama karena item yang harus dipenuhi pengembang cukup banyak.
Begitu juga dengan LSD. Menurut Sutiaji, di Kota Malang tidak mungkin dijadikan daerah penyanggah produksi padi karena merupakan daerah urban sehingga membutuhkan banyak rumah.
“Sekarang saja, pemenuhan rumah masih 80 persen sehingga sisanya mestinya harus disediakan pemerintah lewat pengembang,” ujarnya.
Pendataan pemerintah pusat terhadap lahan persawahan teknis juga sering tidak tepat. Seperti di Kota Malang, pendataan pemerintah LSD Kota Malang mencapai 1.020 hektare, setelah diverifikasi turun 719 hektare, dan verifikasi terakhir 417 hektare.
“Ini pun masih masalah. Ada lahan persawahan yang kanan kirinya sudah terbangun, ada pula lahan yang saluran irigasinya sudah kering,” katanya.
Dia tidak keberatan 417 hektare tersebut dijadikan LSD, dengan syarat masuk dalam proyek strategis nasional sehingga ada kepastian bagi pemilik untuk menjualnya.
“Kan kasihan pemiliknya jika tanahnya dijadikan LSD sehingga tidak bisa dijual selain untuk kegiatan bertani,” ujarnya.
Cara yang ditempuh, dia mengusulkan, luasan LSD ditetapkan 18 hektare. Lahan seluas itu, 14 hektare sudah dikuasai Pemkot Malang dan sisanya akan ditambah dengan membeli tanah sawah ke warga untuk kegiatan urban farming maupun lahan terbuka hijau. (K24)