Bisnis.com, SURABAYA - Wacana pengenaan cukai terhadap gula dan minuman berpemanis dalam kemasan dinilai perlu dikaji secara komprehensif, lintas instansi, termasuk melibatkan masyarakat umum.
Sosiolog Universitas Gadjah Mada, Arie Sujito, menilai kepentingan negara untuk menambah sumber pendapatan, ruang industri untuk berusaha serta berkembang, dan hak masyarakat dilindungi harus diperhatikan.
"Semua tidak bisa dinegasikan [ditiadakan]," ujarnya dalam diskusi bertema Habis Manis Gula Dicaci yang diselenggarakan Aloha Institute, Sabtu (4/12/2021).
Arie meminta persoalan wacana cukai gula didudukkan sesuai porsinya. Negara ingin menjaga kinerja ekonomi namun bila cukai gula diterapkan maka dunia usaha, industri maupun UMKM, serta konsumen bisa tertekan. Itu jadi dilema.
Selain itu, bila alasan pengenaan cukai soal kesehatan, maka perlu kajian lebih mendalam. Mengingat kesehatan bukan disebabkan faktor tunggal saja.
"Jangan sampai ini menyembunyikan interest [kepentingan] ekonomi di balik isu kesehatan," tegasnya.
Merujuk publikasi berjudul Kajian Perluasan Pengenaan Cukai Terhadap Barang dan/atau Jasa yang diterbitkan Kementerian Keuangan, objek cukai di Indonesia yakni etanol, minuman mengandung etil alkohol, hasil tembakau dan kantong plastik. Sedangkan negara lain bisa 8-12 objek kena cukai.
Negara yang sudah mengenakan cukai atas gula murni di antaranya Brazil dan Ethiopia. Gula disinyalir memiliki dampak buruk terhadap asupan energi, berat badan, dan risiko penyakit kardiovaskular.
Adapun negara yang mengenakan cukai untuk minuman berpemanis yakni Hongaria, Finlandia, Prancis, Belgia, Portugal, Meksiko, Chili, Thailand, Arab Saudi, dan Uni Emirat Arab.
Negara Bangladesh, Denmark, dan Uni Emirat Arab mengenakan cukai pada produk turunan gula, yakni cokelat, permen, kopi dan produk yang mengandung kafein.
"Cukai tidak sekadar ditujukan sebagai lumbung penerimaan negara, namun dapat dirancang untuk memenuhi tujuan kesehatan, lingkungan, ekonomi, pekerjaan atau kebijakan sosial lainnya," tulis publikasi yang disusun Benedictus Janrian Purba (KPPBC Babo, Fak Fak) dan Arifin (Pusdiklat Bea dan Cukai), yang diterbitkan pada 2020.
Dalam jurnal yang diterbitkan Kementerian Keuangan berjudul Analisis Fisibilitas Pengenaan Cukai atas Minuman Berpemanis disebutkan World Health Organization (WHO) merekomendasikan agar negara-negara anggota perlu melakukan kebijakan fiskal yang dapat mempengaruhi pola konsumsi.
"Salah satu jenis produksi industri yang harus dapat dikendalikan adalah minuman berpemanis," tulis publikasi yang disusun Haunan Rosyada (Direktorat Jenderal Pajak) dan Benny Gunawan Ardiansyah (Poltek Keuangan Negara STAN).
Bahan pemanis minuman ringan terbagi dalam dua kategori bahan pemanis natural (gula pasir, gula cair, gula invert cair, sirup jagung dsb), dan bahan pemanis sintetik.
Penelitian yang dirujuk jurnal menyebutkan ada hubungan positif konsumsi minuman berpemanis terhadap kenaikan berat badan. Selain itu, mengonsumsi minuman berpemanis sebanyak 1-2 kaleng/hari secara reguler memiliki risiko diabetes tipe 2 sebanyak 26 persen lebih besar dibandingkan orang yang jarang mengonsumsi minuman berpemanis.
Dipaparkan pula tren kenaikan klaim perawatan gangguan metabolisme yang ditanggung BPJS Kesehatan.
"Pengenaan cukai minuman berpemanis di Indonesia seharusnya bersifat urgen," tegas kedua peneliti. Terlebih penduduk usia 0-20 tahun mencapai 37,5 persen dari jumlah penduduk yang sangat rawan dibentuk pola konsumsinya.
Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Jakarta, Haryo Kuncoro, berpendapat kondisi objektif dan masalah rencana cukai gula dan minuman berpemanis sangat bisa diperdebatkan. Namun, cukai gula dinilai tidak cocok.
"Gula kimia mungkin yang bisa. Sedangkan gula impor bisa dikendalikan dengan tarif bea masuk," jelasnya saat diskusi yang diikuti para jurnalis itu.
Menurutnya pemerintah bisa menggali objek cukai lain bila bertujuan meningkatkan pendapatan negara. Pasalnya, konsep cukai harus dikembalikan ke objek, sehingga untuk gula secara umum dan produk pemanis akan banyak kesulitan dalam teknisnya.
Dokter Spesialis Gizi Klinik, Widati Fatmaningrum, mengatakan kesehatan dipengaruhi sejumlah faktor, di antaranya genetik, gaya hidup, kebiasaan. "Faktor terbesar itu lingkungan, sejak di dalam perut (kandungan) pengaruhnya," jelas pengajar di Fakultas Kedokteran Unair itu dalam diskusi.
Soal gula (glukosa), Widati menegaskan kelebihan dan kekurangan asupan makanan penghasil glukosa bisa menjadi masalah kesehatan. Asupan harus pas, tidak lebih, tidak kurang. Oleh karenanya, konsumen harus memerhatikan asupan yang dimakan/diminum menyesuaikan kebutuhan hariannya.