Bisnis.com, MALANG — Tingkat peredaran rokok ilegal di Indonesia terus menurun dan pada 2020 menjadi 4,86 persen berkat gencarnya operasi penindakan mengacu survei Unit Penelitian dan Pelatihan Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada.
Dirjen Bea dan Cukai Askolani mengatakan sesuai arahan Menteri Keuangan, angka itu diharapkan terus dapat ditekan hingga 3 persen.
“Dengan adanya operasi yang dilakukan secara serentak di seluruh Indonesia akan menghilangkan adanya kemungkinan balloon effect yang terjadi, sehingga barang kena cukai (BKC) ilegal tidak lagi beredar di seluruh Indonesia,” katanya dalam keterangan resminya, Kamis (26/8/2021).
Tingkat peredaran ilegal sebesar 4,86 persen itu, kata dia, lebih kecil dibandingkan angka hasil penelitian Universitas Brawijaya pada Desember 2019 yang memprediksi bahwa kenaikan tarif cukai hasil tembakau pada 2020 dapat meningkatkan peredaran rokok ilegal menjadi 8 persen dan berdasarkan analisis kurva Laffer yang memperkirakan rokok ilegal akan naik menjadi 6,6 persen pada 2020.
“Apabila pasar rokok ilegal berhasil ditekan, maka diharapkan rokok legal akan mengisi pasar tersebut, sehingga penerimaan cukai akan optimal. Berdasarkan penelitian Universitas Brawijaya peningkatan intensitas pengawasan berdampak terhadap penurunan peredaran rokok ilegal sebesar 29 persen,” ucapnya.
Kenaikan tarif cukai hasil tembakau 2021, dia menilai, mengakibatkan disparitas harga rokok legal dan ilegal semakin lebar sehingga konsumen cenderung memilih beralih ke barang yang lebih murah (BKC ilegal).
Baca Juga
Maka dari itu, berbagai strategi dilakukan Bea Cukai untuk operasi pengawasan di tengah pandemi dalam rangka terus menekan peredaran BKC ilegal.
Sementara itu, Ketua Harian Forum Masyarakat Industri Rokok Seluruh Indonesia (Formasi) Heri Susianto mengatakan Penjualan rokok kretek mesin atau sigaret kretek mesin golongan II menurun hingga 20 persen – 25 persen selama pelaksanaan PPKM Level 4 diberlakukan, sedangkan selama pandemi Covid penurunannya mencapai rerata 10 persen.
Dengan adanya PPKM, kata dia, maka aktivitas ekonomi menurun tajam. Dampaknya, daya beli masyarakat juga ikut terimbas. Wacana yang muncul, penaikan tarif cukai pada 2022 dipatok 11 persen.
Menurut dia, dengan kenaikan tarif cukai sebesar itu, maka sulit bagi IHT bisa tetap eksis di tengah ketidakpastian ekonomi karena pandemi.
Alasannya, karena selain momentumnya tidak pas karena daya beli yang rendah di tengah pandemi juga harga rokok sudah relatif tinggi.
Heri menegaskan, Formasi menolak rencana penaikan tarif cukai 2022 karena dapat mengganggu bahkan mematikan IHT golongan II. Jika kebijakan menaikkan tarif cukai dikaitkan dengan target peningkatan penerimaan cukai, maka mestinya pemerintah harus berani mengambil keputusan untuk mengenakan cukai pada barang kena cukai lainnya sehingga target penerimaan dapat terpenuhi.(K24)