Bisnis.com, MALANG — Target swasembada kerbau bisa dicapai dengan penerapan strategi kelahiran kembar.
Guru Besar Ilmu Manajemen Reproduksi Ternak Fakultas Peternakan (Fapet) Universitas Brawijaya (UB) Prof. Nurul Isnaini mengatakan upaya yang dapat dilakukan untuk meningkatkan populasi dan produktivitas kerbau dengan menghasilkan kelahiran kembar.
“Melalui strategi kelahiran kembar diharapkan akan dapat mengakselerasi pertumbuhan populasi kerbau. Selain itu, penggunaan induk unggul diharapkan juga dapat meningkatkan produktivitas ternak kerbau,” katanya di Malang, Jumat (19/3/2021).
Nurul merupakan profesor aktif ke-17 dari Fapet dan profesor aktif ke-193 di UB, serta menjadi profesor ke-276 dari seluruh profesor yang telah dihasilkan oleh UB yang dikukuhkan Sabtu (20/3/2021).
Pada kondisi normal, kata dia, sebenarnya kerbau hanya bisa menghasilkan satu ekor anak pada setiap periode kebuntingan. Akan tetapi, kelahiran kembar memungkinkan untuk terjadi secara alami namun dengan frekuensi yang sangat rendah, hanya 0,14 peresn.
Strategi kelahiran kembar pada kerbau dapat dilakukan dengan tiga metode, yakni dengan tahapan a.l induksi superovulasi dan inseminasi buatan (IS-IB).
Baca Juga
Metode lainnya, dengan tahapan induksi superovulasi, inseminasi buatan, dan transfer embrio (IS-IB-TE). Sedangkan metode terahir dengan tahapan maturasi oosit in vitro, fertilisasi in vitro, dan transfer embrio (MOIV-FIV-TE).
Namun terdapat beberapa risiko yang perlu diperhatikan pada penerapan strategi ini yaitu tingginya risiko distokia, bobot lahir dan pertambahan bobot badan anak yang rendah, serta terjadinya sindrom freemartin pada anak betina.
Upaya yang dapat dilakukan untuk mengatasi risiko tersebut di antaranya adalah dengan menempatkan kerbau pada kandang isolasi dengan pengawasan rutin pada saat menjelang beranak. Perlu pula memberikan pakan dengan densitas nutrien tinggi selama bunting dan laktasi, serta menggunakan spermatozoa hasil sexing untuk inseminasi buatan atau fertilisasi in vitro.
Ke depannya, Ia berharap adanya pengembangan teknologi deteksi birahi dan kebuntingan dini. “Lebih lanjut, pengembangan teknologi kloning pada jenis ternak kerbau yang memiliki nilai sosial budaya dan ekonomi tinggi seperti Tedong Saleko di Toraja juga perlu untuk dieksplorasi pada masa-masa mendatang,” katanya.
Menurut Prof. Nurul, pengembangan ternak kerbau sebenarnya memiliki prospek yang cukup baik untuk mendukung upaya pencapaian swasembada daging, karena kerbau memiliki potensi produktivitas yang tak kalah bersaing dibandingkan dengan sapi.
Kerbau dikenal memiliki kemampuan yang sangat baik untuk mencerna pakan dengan kualitas rendah. Selain itu, rumen kerbau juga dilaporkan memiliki populasi bakteri ruminococcus albus dan fibrobacter succinogenes yang lebih tinggi dibandingkan dengan sapi.
Kedua bakteri tersebut bersifat selulolitik, sehingga kerbau memiliki potensi untuk mencerna kandungan serat pada pakan secara lebih optimal. Selain sebagai ternak penghasil daging, kerbau juga dapat menghasilkan susu.
Akan tetapi, peran ternak kerbau yang sangat penting bagi masyarakat tersebut sayangnya belum didukung dengan pola pemeliharaan yang baik, karena masih dilakukan secara tradisional. Sistem pemeliharaan yang masih tradisional ini kemudian menyebabkan tidak optimalnya performa produksi dan reproduksi pada kerbau.
Populasi kerbau di Indonesia cenderung mengalami penurunan selama 10 tahun terakhir. Berdasarkan data Statistik Peternakan dan Kesehatan Hewan (Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan), populasi kerbau di Indonesia pada 2011 adalah 1,31 juta ekor, sedangkan pada 2020 yaitu 1,18 ekor, maka terjadi penurunan sebesar 9,92 persen.
Hingga saat ini produksi daging sapi dan kerbau dalam negeri hanya dapat berkontribusi sebesar 50,6 persen terhadap pemenuhan ketersediaan nasional, sedangkan 49,4 persen kekurangannya harus dipenuhi melalui impor. (K24)