Bisnis.com, SURABAYA — Tingkat okupansi perkantoran di Surabaya dalam tiga tahun ke depan diperkirakan bakal turun di bawah 50% seiring dengan terselesaikannya sejumlah proyek baru.
Ferry Salanto, Senior Associate Director Research Colliers International, mengatakan tren penyerapan ruang perkantoran di Surabaya saat ini memang belum maksimal. Dengan jumlah pasokan saat ini yang mencapai 340.789 m2, tingkat hunian di semester I mencapai 78,1%.
"Tapi nanti setelah 3 tahun sejumlah proyek baru mengisi pasar, tingkat huniannya akan turun perkiraan 48%. Pasokan yang besar ini akan menjadi tantangan besar bagi para pengembang," katanya saat Media Luncheon Colliers, Rabu (24/7/2019).
Dia menjelaskan pasokan gedung perkantoran baru dalam tiga tahun ke depan diperkirakan melejit sampai dua kali lipat, setidaknya ada 10 gedung perkantoran baru yang akan beroperasi pada 2022.
"Proyeksi pasokan baru sampai 2022 mencapai 192.697 m2 untuk perkantoran sewa, dan 106.507 m2 untuk perkantoran jual," ujarnya.
Ferry mengatakan saat ini pengembang lebih mengutamakan komitmen sewa terlebih dahulu sebelum memulai konstruksi agar tingkat huniannya tercapai. Selain itu, konsep pengembangan gedung perkantoran saat ini cenderung memastikan captive market dari grup perusahaan setidaknya 60% dari total luas gedung.
Baca Juga
"Sedangkan 40 persen nya untuk disewakan ke pihak luar sehingga pengembang tersebut punya posisi tawar yang kuat," katanya.
Adapun total pasokan baru ruang perkantoran yang beroperasi tahun ini disuplai oleh pengembangan besar di antaranya seperti Intiland dengan proyek Praxis seluas 12.000 m2 di pusat kota, dan Spazio 20.000 m2 di Surabaya Barat.
Selain itu ada Voza Tower 18.060 m2 garapan Tanrise di Surabaya Barat dan Pakuwon Tower 39.740 m2 di pusat kota.
"Sedangkan pasokan baru pada 2020 nanti akan ada Telkom Smart Office seluas 21.057 m2 di Surabaya Timur," imbuhnya.
Ferry menambahkan, pengembang perlu berinovasi dalam memasarkan produk perkantoran di Surabaya mengingat semakin ketatnya persaingan.
Selain itu, tren menempati gedung untuk kantor di Surabaya masih belum sebaik di Jakarta. Hal ini sebabkan oleh kenyamanan orang untuk berusaha di rumah atau ruko. Sementara dari sisi kebijakan pemerintah daerah kurang begitu ketat dalam mendorong pemanfaatan gedung perkantoran.
"Kalau di Jakarta itu ada aturan pemerintah yang mengharuskan usaha hanya boleh berdiri di dalam gedung, karena kalau di ruko berkaitan dengan tata ruang kota yang juga bisa menyebabkan kemacetan, lantaran lahan parkir tidak besar," jelasnya.
Meski begitu, lanjut Ferry, ruang perkantoran Surabaya masih punya pasar potensial yang mendorong kinerja yakni perusahaan yang bergerak di sektor keuangan atau perbankan dan asuransi.