Bisnis.com, MALANG---Industri hasil tembakau (IHT) di Malang yang tergabung dalam Gabungan Perusahaan Rokok Malang (Gaperoma) keberatan dengan kebijakan kumulasi produksi sigaret kretek mesin (SKM) dengan sigaret putih mesin (SPM) karena menjadikan produksi rokok akan naik sehingga naik pula golongan maupun layer-nya.
Ketua Gaperoma Johny mengatakan mengacu pada PMK No. 146/2017 tentang Tarif Cukai Hasil Tembaku maka diatur ketentuan tentang penyederhanaan layer tarif cukai.
“Dengan adanya kenaikan golongan maupun layer, maka otomatis naik pula tarif cukainya,” katanya di Malang, Jumat (20/7/2018).
Padahal setiap tahun pemerintah menaikkan tarif cukai sehingga kenaikan tarif yang dialami anggota asosiasi menjadi berganda, yakni kenaikan karena kenaikan golongan maupun layer dan kenaikan tariff cukai oleh pemerintah.
Secara konsep, ujar Johny, penggabungan produksi SKM dan SPM tidak bisa dilakukan karena jenis produknya berbeda, satu memproduksi rokok dengan cengkeh, sedangkan SPM tanpa cengkeh.
Penyamaan tarif cukai antara jenis SKM dan SPM pada 2020 dan menghilangan golongan I-B sigaret kretek tangan (SKT) pada 2021.
Baca Juga
“Penerapan tarif bagi industri yang memproduksi SPM dan SKM dengan menghitung total kumulasi produksi keduanya berlaku mulai 2019,” katanya..
Begitu juga penghilangan golongan I-B SKT, juga memberatkan PR karena tarif cukai yang dikenakan otomatis juga meningkat sehingga terjadi kenaikan harga rokok yang akan berdampak penurunan penjualan.
Padahal, serapan pekerja di sektor industri hasil tembakau produsen SKT sangat besar sehingga harus dijaga keberadaannya.
Jika mengacu skema tersebut, kata dia, maka jelas mengancam perusahan rokok (PR) anggota Gaperoma yang berjumlah 18 PR.
Dari sisi produksi dan penjualan rokok saat ini sedang melesu, turun. Rilis dari Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (Gappri), menunjukkan penurunan 1-2% selam 4 tahun terakhir. Bahkan hingga April 2018, terjadi penurunan volume industri rokok sebesar 7% (Nielsen, April 2018).
Karena itulah, Gaperoma meminta penyederhaan layer tarif cukai rokok dikaji ulang karena memberatkan kalangan industri di tengah pasar yang masih melesu.
Seperti diketahui, Realisasi penerimaan cukai semester I/2018 masih berada di bawah angka 40% dari target Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2018.
Direktur Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan Heru Pambudi mengatakan bahwa pihaknya tengah memonitor penerimaan cukai khususnya cukai hasil tembakau, yang sampai dengan semester I lalu belum menunjukkan pergerakan yang signifikan.
"Untuk yang lain misal bea keluar memang sudah cukup bagus, tetapi kami juga harus memonitor yang lain misalnya cukai, khususnya cukai hasil tembakau," kata Heru, Rabu (11/7/2018).
Menurut Johny, dengan turunnya permintaan rokok legal, maka otomatis akan diserap rokok ilegal sehingga merugikan penerimaan negara karena cukainya tidak masuk ke kas negara. Produksi rokok ilegal akan merajalela.
Karena itulah, kata Johny, ketentuan mengenai penyederhanaan perlu dikaji ulang dengan memperhatikan kesiapan dari kalangan industri.
Dengan demikian, perlu kesiapan industri rokok untuk melaksanakan ketentuan tersebut, jika peraturan tersebut tetap akan dilaksanakan. Butuh waktu bagi industri untuk berbenah agar dapat melaksanakan ketentuan mengenai penyederhaan layer tarif cukai rokok.