Bisnis.com, JAKARTA – Komunitas Kretek dan Komite Nasional Pelestarian Kretek menilai alasan pemerintah untuk menaikkan tarif cukai rokok sebanyak 10% hanya akal-akalan untuk mencari pendapatan yang lebih banyak dibandingkan dengan tahun lalu.
Kebijakan tersebut dinilai berisiko tinggi terhadap kemunduran bisnis industri rokok dari hulu sampai dengan hilir. Sebelumnya, pemerintah telah resmi menaikkan tarif cukai rokok 2018 sebesar 10% dengan menimbang dari empat aspek.
Adapun faktor pertama, yakni kenaikan cukai rokok demi mengendalikan tingkat konsumsi rokok karena aspek kesehatan. Kedua, kenaikan cukai rokok dapat mencegah semakin banyaknya rokok ilegal.
Selain itu, aspek ketiga, yakni memberikan kesempatan kerja untuk petani lokal dan buruh pabrik. Terakhir, terkait peningkatan penerimaan negara yang dihasilkan oleh cukai rokok.
Aditia Purnomo, Ketua Komunitas Kretek mengatakan alasan yang diberikan pemerintah tersebut berlawanan dengan yang terjadi di lapangan. Semisal jika pemerintah benar memperhatikan aspek kesehatan maka akan mengalokasikan dana untuk membangun ruangan khusus merokok atau memberikan fasilitas kesehatan bagi yang terkena dampak dari merokok.
Menurutnya, persepsi mengenai kenaikan cukai rokok dapat menekan peredaran rokok ilegal adalah salah. Bahkan, sebaliknya peredaran rokok ilegal akan semakin meningkat.
Komunitas Kretek mencatat pada 2015 terdapat 1.232 kasus rokok ilegal yang ditindak, ketika itu cukai rokok naik rerata sebesar 8,72%. Jumlah kasus yang ditindak oleh Bea Cukai tersebut naik sebesar 1,5 kali lipat dibandingkan dengan 2014.
Sementara itu, pada 2016 cukai rokok kembali naik sebesar 11,19% yang berakibat terhadap penindakan rokok ilegal kembali meningkat, sebanyak 1.597 kasus penindakan rokok ilegal pada tahun tersebut.
“Konsumen akhirnya membeli rokok ilegal karena harga rokok terlalu tinggi sehingga komsumen tidak sanggup beli," kata Aditia dalam siaran pers yang diterima Bisnis.com, Minggu (22/10/2017).
Aditia menambahkan kenaikan cukai rokok tidak dapat mengurangi jumlah perokok karena konsumen akan mencari alternatif lain untuk tetap bisa merokok. Dia menjelaskan konsumen akan memilih untuk melinting atau mencari rokok ilegal.
Sebelumnya, Komunitas Kretek mencatat industri hasil tembakau (IHT) dan konsumen dibebani terus dengan kenaikan cukai yang terbilang tinggi seperti yang terjadi pada 2016 mencapai 15% dan pada 2017 dengan naik sampai dengan 10.5%. Efek dari kenaikan tersebut banyak unit usaha IHT yang bertumbangan, angka pemutusan hubungan kerja (PHK) tinggi, dan penerimaan negara dari sektor cukai yang tidak tercapai.
Zulvan Kurniawan, Koordinator Komite Nasional Pelestarian Kretek (KNPK) mengungkapkan jumlah pabrik rokok pada 2006 mencapai 4.669 unit, namun sampai saat ini yang tersisa hanya sebanyak 500 pabrik. Pabrikan IHT yang gulung tikar adalah industri kecil dan menengah (produsen rumahan dan pabrikan kecil).
Selain itu, kenaikan cukai ini berpotensi meningkatkan PHK massal hingga 15.000 tenaga kerja. Zulvan menyampaikan alasan pemerintah menaikan cukai rokok, yakni industri tersebut menjadi sektor yang paling cepat menghasilkan dana segar dibandingkan dengan yang lain.
Namun pemerintah tidak memperhatikan faktor jika konsumen akan mengalihkan konsumsi rokok yang bercukai kepada yang tembakau lintingan sehingga pendapatan negara dari rokok kemungkinan tidak akan capai target.
"Masalah lain adalah alokasi dana pajak dan dana bagi hasil cukai hasil tembakau [DBHCHT] tidak jelas ke mana larinya dan untuk apa pemanfaatannya, padahal seharusnya untuk konsumen."