Paradoks Kemajuan Teknologi dengan Kemunduran Etika

Kemajuan teknologi membawa manfaat, tapi krisis etika makin nyata. Regulasi dan literasi digital diperlukan agar inovasi tetap selaras dengan nilai moral
Foto: Mahasiswa Magister Manajemen Universitas Hayam Wuruk Perbanas, Erllyn Faulinda
Foto: Mahasiswa Magister Manajemen Universitas Hayam Wuruk Perbanas, Erllyn Faulinda

Bisnis.com, SURABAYA - Pernah melihat anak-anak asyik bermain gadget, hingga lupa waktu, di waktu yang sama sering abai atas panggilan orang tuanya, ini adalah etika. Pernahkah menyaksikan, ketika makan bersama keluarga, interaksi dan komunikasi yang seharusnya terjadi, tak jarang berujung asyik dengan gadgetnya sendiri-sendiri. Dan ini adalah etika. Pernahkah melihat banyak anak kumpul bermain game bersama (mabar) istilahnya, namun ketika mereka gagal di game tersebut, maka seketika sumpah serapah ataupun kata-kata yang kurang pantas yang keluar dari mulut mereka, dan ini adalah etika.

Pernah melihat bahwa banyak hal-hal vulgar diumbar di dunia maya, hal yang tidak pantas untuk dipertontonkan, namun seakan lumrah dilakukan, atas dasar kebebasan berekspresi dan hak asasi manusia. Dan ini juga adalah tentang etika. Banyak contoh lainnya, dan inilah Fakta nyata yang ada disekeliling kita. Etika kian terkikis, ditengah masifnya perkembangan tekhnologi yang dirasa kian etis.

Mahasiswa Magister Manajemen Universitas Hayam Wuruk Perbanas, Erllyn Faulinda mengatakan tak bisa dipungkiri, dalam beberapa dekade terakhir, kemajuan teknologi telah membawa perubahan revolusioner dalam peradapan kehidupan manusia.

Inovasi di bidang kecerdasan buatan (AI), robotika, komunikasi, dan bioteknologi telah meningkatkan efisiensi, produktivitas, serta kualitas hidup manusia secara signifikan. Namun, di balik perkembangan pesat ini, muncul paradoks yang mengkhawatirkan, kemunduran etika.

Kemajuan teknologi yang seharusnya digunakan untuk kepentingan umat manusia justru sering kali disalahgunakan untuk kepentingan pribadi, manipulasi sosial, dan bahkan tindakan yang merugikan masyarakat luas.”

Erllyn menyebut hal ini memunculkan dilema moral dan menimbulkan pertanyaan mendasar, apakah peradaban kita benar-benar berkembang, jika aspek etika tidak dapat mengikuti laju perkembangan teknologi?


1. Teknologi Kian Meraja vs Krisis Etika
“Indonesia adalah salah satu negara dengan pengguna media sosial terbesar di dunia. Namun, media sosial sering digunakan untuk menyebarkan hoaks, ujaran kebencian, dan propaganda yang memecah belah masyarakat.”

Salah satu contoh nyata dari paradoks ini adalah penyalahgunaan data pribadi. Di era digital, data menjadi komoditas berharga yang sering dimanfaatkan oleh perusahaan teknologi untuk kepentingan bisnis.

Kebocoran data pengguna, penyalahgunaan informasi pribadi, hingga manipulasi opini publik melalui algoritma media sosial adalah bukti bahwa kemajuan teknologi tidak selalu beriringan dengan kesadaran etika. Ujarnya.

Kasus nyata Hoaks dan Disinformasi Politik:

“Pada pemilu 2019 & 2024, Indonesia mengalami gelombang penyebaran hoaks yang sangat masif. Isu-isu seperti manipulasi hasil pemilu, penyebaran berita palsu mengenai kandidat, hingga fitnah berbasis SARA (Suku, Agama, Ras, dan Antargolongan) banyak beredar di media sosial seperti Facebook, WhatsApp, dan Twitter. Banyak masyarakat yang terprovokasi tanpa memverifikasi kebenaran informasi, menyebabkan ketegangan sosial dan bahkan konflik di dunia nyata.”

2. Dampak Sosial dan Kemerosotan Moral
Erllyn menjelaskan kemunduran dalam beretika dalam era teknologi juga terlihat dalam interaksi sosial. Kemajuan komunikasi digital memungkinkan kita untuk berkomunikasi dengan siapa saja di seluruh dunia dalam hitungan detik. Namun, di sisi lain, generasi muda yang tumbuh dalam ekosistem digital sering kali menghadapi krisis identitas dan moral akibat eksposur terhadap konten yang tidak terkendali.

Ketergantungan pada media sosial, yang dimana secara perlahan dapat menurunkan rasa empati dan meningkatkan sikap individualisme. Fenomena ini menunjukkan bahwa meskipun kita hidup di zaman yang lebih terkoneksi, namun nilai-nilai dalam bersosial dan etika justru semakin tergerus.

3. Penyebaran Konten Tidak Senonoh dan Cyberbullying
“Kemudahan akses internet juga meningkatkan penyebaran konten tidak pantas, termasuk pornografi dan cyberbullying, yang berdampak negatif terhadap moralitas masyarakat.”

Kasus Nyata : Kasus Penyebaran Konten Pribadi

Banyak kasus di mana video pribadi seseorang siswa bersama sang guru disebarluaskan tanpa izin, sering kali sebagai bentuk balas dendam atau pemerasan. Salah satu kasus yang sempat menghebohkan adalah penyebaran video pribadi sejumlah selebriti dan publik figur yang akhirnya merusak reputasi serta kehidupan pribadi mereka. Kata Erllyn.

“Fakta nyata lainnya, kemajuan teknologi finansial (fintech) di Indonesia telah mempermudah akses masyarakat terhadap layanan keuangan. Namun, ini juga membuka celah bagi berbagai bentuk penipuan yang mengeksploitasi kurangnya literasi digital masyarakat.Pinjaman Online (Pinjol) ilegal, Judi Online: kian menyebar diberbagai kalangan, dengan kemudahan akses, banyak masyarakat yang tergiur untuk meminjam uang dari aplikasi pinjol ilegal tanpa memahami konsekuensinya. Beberapa korban menghadapi ancaman dan pelecehan ketika tidak mampu membayar tepat waktu, bahkan ada yang berujung pada tindakan nekat seperti bunuh diri.”

Pada akhirnya, paradoks antara kemajuan teknologi dan kemunduran etika adalah tantangan besar yang harus dihadapi dalam masa peradaban modern sekarang ini. Kemajuan teknologi seharusnya membawa manfaat bagi manusia tanpa mengorbankan nilai-nilai moral dan sosial.

Oleh karena itu, diperlukan keseimbangan antara inovasi teknologi dengan kesadaran etika yang tinggi. Jika tidak, kita mungkin akan mencapai puncak kemajuan teknologi, tetapi dengan kehilangan esensi kemanusiaan kita. Jelasnya.

Erllyn melanjutkan kemajuan teknologi di Indonesia memang membawa banyak manfaat, tetapi juga membuka peluang bagi berbagai bentuk penyalahgunaan yang mencerminkan kemerosotan moralitas.

Dari penyebaran hoaks, eksploitasi anak, hingga kejahatan siber, kita dapat melihat bahwa teknologi tidak selalu digunakan untuk kebaikan, tetapi juga bisa menjadi alat manipulasi, penipuan, dan tindakan tidak etis.

“Melihat kondisi yang ada, maka pertanyaan yang muncul adalah: apakah kita harus membatasi perkembangan teknologi untuk menyelamatkan nilai-nilai etika? Jawabannya bukan pada pembatasan, tetapi pada sisi regulasi, pendidikan etika dalam teknologi juga harus menjadi prioritas perbaikan. Literasi digital yang mencakup kesadaran akan dampak sosial dan moral dari teknologi harus diajarkan sejak dini. Institusi pendidikan perlu menanamkan nilai-nilai etika dalam penggunaan teknologi agar generasi mendatang dapat mengembangkan inovasi tanpa mengorbankan prinsip moral. Regulasi yang ketat dalam perlindungan data, serta literasi digital yang menanamkan nilai moral yang lebih baik adalah langkah yang harus diambil untuk memastikan bahwa kemajuan teknologi tetap selaras dengan peningkatan etika kemanusiaan.”

Paradoks ini adalah tantangan bagi kita semua. Kita ingin terus maju sebagai peradaban yang tidak hanya canggih tetapi juga bermoral, maka kita harus memastikan bahwa teknologi dikembangkan dan digunakan dengan penuh tanggung jawab.

Jika tidak, kemajuan yang kita banggakan saat ini bisa jadi justru akan menghancurkan nilai-nilai yang membentuk peradaban manusia itu sendiri. Mari kian bijak dalam memanfaatkan tekhnologi, dimulai dari diri kita sendiri. Pungkas Erllyn.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Media Digital
Editor : Media Digital
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Terpopuler

# Hot Topic

Rekomendasi Kami

Foto

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper

Terpopuler