Bisnis.com, SURABAYA - Bank Indonesia mendorong pebisnis memaksimalkan penggunaan rupiah dalam transaksi lintas negara guna mengurangi tekanan nilai tukar.
Direktur Departemen Internasional Bank Indonesia, Ita Vianty, mengatakan local currency transaction (LCT) atau penggunaan rupiah saat bertransaksi dengan mitra bisnis di lain negara mendorong stabilitas nilai tukar mata uang Indonesia.
"Saat ini ketergantungan dengan mata uang tertentu cukup tinggi. Bank Indonesia melihat ketergantungan terhadap mata uang tertentu bisa rentan," jelasnya di Surabaya dalam Jatim Talk-Road to East Java Economic Forum (EJAVEC) 2024, Senin (30/9/2024).
Dia menjelaskan bila menggunakan mata uang perantara maka pengusaha bakal terkena selisih kurs. Oleh karenanya, pengusaha di Indonesia didorong mengajak mitra usaha di luar negeri agar bisa transaksi menggunakan rupiah.
Dalam acara yang dihadiri pengusaha, eksportir, akademisi, perbankan, hingga otoritas keuangan tersebut, dihadirkan pembicara dari bankir dan Bea Cukai. Perbankan menjelaskan fasilitasi LCT dan Bea Cukai menguraikan kelebihan bila transaksi ekspor-impor menggunakan rupiah.
Direktur Informasi Kepabeanan dan Cukai, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Rudy Rahmaddi, menjelaskan implementasi LCT dari sisi impor bisa memberikan keuntungan ke pengusaha. Salah satunya pengurangan skor risiko yang bisa mempercepat pemasukan barang.
Baca Juga
"Dengan demikian harapannya mempercepat impor clearance dengan pemanfaatan LCT," jelasnya.
Vice President of International Payment Specialist PT Bank Central Asia Tbk, Syiska Diranti Ventia, menuturkan guna mendorong pemanfaatan LCT, nasabah dipetakan berdasarkan jenis bisnis dan termasuk risikonya. Selanjutnya bank memberi kemudahan termasuk di antaranya cashback telex 100%. "Jadi LCT bisa memberi opsi biaya tetap bagi pengusaha," jelasnya.
Meski dipaparkan sejumlah keunggulan pengunaan rupiah untuk transaksi luar negeri, diskusi dalam acara ini mengindentifikasi sejumlah tantangan. Pebisnis yang memiliki utang dolar memiliki risiko selisih kurs. Problem lindung nilai (hedging) jadi salah satu faktor yang perlu dihitung dalam pemanfaatan LCT.
CEO Tancorp Hermanto Tanoko menjelaskan tantangan utama implementasi pola transaksi ini adalah kepercayaan terhadap rupiah (IDR). Pasalnya, bila rupiah tidak stabil maka ada potensi kerugian bila menggunakan LCT.
"Kalau harus hedging kita biaya lebih tinggi. Kami dari pengusaha hanya ingin rupiah stabil, kalau bisa menguat. Pemerintah harus membuat rupiah dipercaya di dalam negeri dan luar negeri," jelasnya dalam sesi diskusi.
Merujuk data Bea Cukai periode 2022 sampai September 2024, dari 4,19 juta dokumen impor, hanya 103 dokumen menggunakan LCT. Data tersebut menunjukkan pengguna fasilitas transaksi ini masih sangat sedikit.
Chief Economist Bank Central Asia, David E. Sumual, mengingatkan cetak biru dan rencana implementasi (blue print dan roadmap) perlu dipikirkan dengan baik, termasuk ekosistem pendukung. "LCT itu ada tantangan. Industri kita 70%-75% impor bahan baku. Impor dari luar. Kalau dolar naik turun untuk sektor riil sulit," ujarnya mengingat.
Menurutnya hedging biasa dilakukan korporasi besar, termasuk lindung nilai alami dari hasil usaha. Namun demikian untuk usaha menengah kecil tidak demikian. Oleh karenanya stabilitas nilai tukar menjadi penting bagi dunia usaha.