Bisnis.com, SURABAYA – Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (RPMK) terkait kemasan rokok polos mendapat perhatian dan penolakan dari berbagai pihak.
Dosen sekaligus Ketua Program Studi Desain Komunikasi Visual (DKV) Universitas Kristen Petra Surabaya, Listia Natadjaja, menyatakan nantinya masyarakat akan kesulitan membedakan antara rokok yang legal dan ilegal jika semua kemasan diseragamkan.
“Dengan kemasan yang seragam, rokok legal dan ilegal akan semakin sulit dibedakan karena tidak ada lagi identitas visual yang bisa digunakan konsumen untuk mengenali merek dan kualitas produk,” jelasnya dalam rilis, Selasa (24/9/2024).
Ia juga menekankan bahwa dari sudut pandang desain, kemasan rokok memiliki peran penting dalam memberikan informasi dan identitas produk. "Jika semua diseragamkan, maka nilai kompetitif di pasar akan hilang, dan ini akan merugikan perusahaan rokok legal karena mereka sudah mendaftarkan merek dan HAKI untuk desain kemasan dan lain sebagainya," tambahnya.
Di sisi lain, Forum Masyarakat Industri Rokok Seluruh Indonesia (Formasi) juga menolak keras rencana penerapan kemasan polos pada rokok. Wakil Sekjen Formasi, Abdul Gafur, menyatakan penerapan RPMK akan berdampak sangat buruk bagi industri rokok skala kecil dan menengah.
"Kami tidak bisa membayangkan dampaknya. Peredaran rokok ilegal pasti akan semakin marak, daya beli menurun, dan ujung-ujungnya terjadi PHK besar-besaran. Negara juga akan kehilangan pemasukan ratusan triliun jika RPMK ini disahkan," ujar Abdul Gafur.
Baca Juga
Menurutnya, kebijakan penyeragaman kemasan rokok akan merugikan pengusaha kecil karena konsumen tidak bisa membedakan merek rokok yang mereka beli. Semua produk akan tampak sama, hanya dibedakan oleh gambar dan warna seragam.
Abdul Gafur juga menyoroti potensi peningkatan rokok ilegal. Saat ini, peredaran rokok ilegal mencapai 10 miliar batang per tahun, sementara produksi rokok oleh pengusaha skala menengah hanya 3 miliar batang per tahun.
"Biaya produksi rokok ilegal tanpa cukai hanya Rp5.000 per 20 batang, sementara rokok legal mencapai Rp22.000 per 20 batang. Dari harga rokok legal, 70 persen masuk ke kas negara melalui cukai, dan kami hanya mendapat 30 persen yang harus mencakup biaya produksi. Dengan aturan baru ini, margin keuntungan semakin kecil," katanya.
Sementara itu, Sekjen Formasi, JP Suhardjo, menegaskan bahwa asosiasi tidak pernah dilibatkan dalam proses penyusunan RPMK ini. "Industri rokok bukan hanya soal kesehatan, tetapi juga menyangkut hajat hidup orang banyak. Jika aturan ini diterapkan, itu sama saja dengan pembunuhan sistematis terhadap industri kami," pungkasnya.