Bisnis.com, MALANG — Kebijakan penaikan tarif cukai hasil tembakau dalam upaya menurunkan angka prevalensi perokok ternyata gagal jika melihat angkanya mengalami stagnasi di kisaran 28%.
Ketua Forum Masyarakat Industri Rokok Seluruh Indonesia (Formasi), Heri Susianto, mengatakan dalam RPJMN 2020-2024 dicantumkan bahwa prevalensi merokok pada anak usia 10-18 tahun ditargetkan dari 9,1% menjadi 8,7% pada 2024. Untuk mencapai target tersebut selalu dipengaruhi oleh faktor-faktor tertentu.
“Produsen hingga ahli mengatakan bahwa kebijakan kenaikan tarif cukai hasil tembakau (CHT) belum cukup efektif menekan tingkat prevalensi merokok sesuai dengan target RPJMN,” katanya, Rabu (15/5/2024).
Dia menegaskan, Menteri Keuangan pada suatu pernyataan pers-nya menyatakan kebijakan tarif CHT mendorong harga rokok semakin tidak terjangkau namun jumlah perokok masih sangat tinggi dan cenderung meningkat. Meskipun kebijakan cukai berupa kenaikan tarif dan HJE terus dilakukan, prevalensi perokok di Indonesia mengalami stagnasi di kisaran 28%.
Prevalensi merokok pada populasi usia dini pada 2013, kata dia, sekitar 7,2%, 2016 sekitar 8,8% dan 2018 sekitar 9,1%. Kondisi ini jelas membuktikan bahwa kebijakan kenaikan tarif cukai tidak cukup efektif untuk menekan angka prevalensi merokok anak usia dini.
Artinya, Pemerintah perlu upaya lain di luar fiskal untuk membantu menekan tingkat prevalensi tersebut, seperti pengawasan dan edukasi yang secara masif dilakukan.
Baca Juga
Faktor-faktor yang paling menentukan tingginya prevalensi merokok, yakni pengaruh lingkungan (lingkungan keluarga/sekolah/teman), faktor sosial budaya, psikologis, pendidikan/persepsi, dan ekonomi.
Semua faktor tersebut, dia menilai, saling berkaitan. Untuk itu, sudah saatnya pemerintah mulai merubah paradigma dan pendekatan untuk menurunkan prevalensi merokok pada anak (usia 10-18 tahun) dengan menyesuaikan berdasarkan faktor-faktor tersebut.
Dengan banyak beban fiskal dan beban regulasi lainnya yang ditanggung oleh IHT, menurut dia, maka sepatutnya IHT tidak dibebani untuk mencapai target penurunan prevalensi. Secara tidak langsung, IHT pada dasar telah berkontribusi banyak untuk penurunan prevalensi merokok, yakni melalui beban fiskal yang telah dibayar (Cukai, Pajak Pertambahan Nilai atau PPN), pajak daerah (pajak rokok), hingga Pajak Penghasilan Badan (PPh. Badan).
“Perlu diingat bahwa IHT menjadi penyumbang terbesar terhadap penerimaan cukai hingga mencapai 96%,” ucapnya.
Karena itulah, dia mengatakan, maka tugas Kementerian Keuangan mulai berjalan untuk mengatur alokasi dana sehingga muncul instrumen bernama DBH CHT.
Dalam PMK 206 tahun 2020 tentang Alokasi DBH CHT telah jelas disebutkan prosentase untuk kesehatan sebesar 25%, termasuk didalamnya adalah upaya penurunan angka prevalensi stunting.
Menurut dia, dibentuknya suatu negara adalah untuk itu–mengatur bagaimana pembagian kewenangan berjalan (distribution of authority).
Secara langsung, dia menilai, IHT pada dasarnya juga telah berpartisipasi terhadap upaya penurunan prevalensi merokok, misalnya adalah dengan mematuhi aturan mengenai pencantuman peringatan dan informasi kesehatan pada kemasan rokok sebagaimana diatur dalam Permenkes No. 56 Tahun 2017 tentang Perubahan atas Permenkes No. 28 Tahun 2013 tentang Pencantuman Peringatan Kesehatan dan Informasi Kesehatan Pada Kemasan Produk Tembakau.
Selain itu, kata Heri, IHT juga mencantumkan isi kandungan rokok, mematuhi aturan promosi hingga iklan. Dari sekian banyaknya ketentuan yang IHT patuhi untuk mendukung upaya mencapai target kesehatan, maka sekali lagi sepatutnya IHT tidak dibebani untuk mencapai target penurunan prevalensi.
“Pencapaian target itu barangkali memang tugas kita bersama, namun tanggung jawab adalah terletak pada pemerintah khususnya Kementerian Keuangan sebagai mandatory dari para pelaku usaha IHT,” ujarnya.(K24)