Bisnis.com, MALANG — Manajemen pemeliharaan ruminansia perlu ditata ulang agar tingkat kematian ternak usia muda berkurang dan pada akhirnya harapan hidup yang tinggi bisa mendukung swasembada sapi.
Guru Besar Bidang Biokonversi Bahan Organik Fakultas Pertanian-Peternakan (FPP) Universitas Muhammadiyah Malang, Prof. Ahmad Wahyudi, mengatakan pemerintah seharusnya tidak hanya mempunyai program meningkatkan jumlah kelahiran ruminansia muda. Tapi juga harus memiliki strategi tentang cara merawat anak-anak ruminansia yang telah lahir. Dengan begitu, jumlah yang mati tidak lebih besar daripada jumlah bakalan yang diimpor.
“Jika jumlah ruminansia yang mati dan angka stunting dapat diturunkan secara nasional, maka kebijakan impor bakalan sapi dan daging tidak diperlukan lagi. Kebijakan swasembada bakalan sapi juga sebaiknya ditata ulang untuk masa depan,” katanya pada prosesi pengukuhan sebagai guru besar di Malang, Sabtu (2/3/2024).
Dia menjelaskan, pemeliharaan ruminansia yang sembrono di masa awal pertumbuhan hingga fase poligastrik dapat berakibat fatal, yakni menyebabkan kematian dan stunting.
Berdasarkan data 2015, kematian pedet sapi perah ada di angka 20%, sementara sapi Bali yang dipelihara secara komunal bersama induknya mencapai 55,56% dan menjadi 72,73% pada 2017.
Menurutnya, pemeliharaan ruminansia muda yang sehat sangat penting karena akan berdampak signifikan pada pertumbuhan dan kinerja produksi daging pada kehidupan dewasa.
Baca Juga
Lingkungan hidup ruminansia muda yang berubah dari rahim dalam kondisi steril ke kondisi alam luar yang sarat dengan kontaminasi “makhluk halus pathogen” dan perubahan nutrisi akan sangat mempengaruhi, termasuk dalam hal pencernaan dan penyerapan pakan.
Oleh karena itu, dia menegaskan, perawatan ruminansia muda pra sapih yang memadai haruslah menjadi perhatian serius agar tidak mati dan stunting.
Sementara dalam penghukuhan Guru Besar Bidang Ilmu Agroteknologi FPP UMM, Prof. Aniek Iriany, menyoroti perihal perubahan iklim dan pertanian berkelanjutan. Ada tiga poin pokok merespons fenomena alam itu yakni penggunaan lahan dan sistem manajemen, perbaikan tanaman melalui pemuliaan tanaman, serta efisiensi permintaan dan konsumsi pangan.
Selain itu, kelangkaan air karena perubahan iklim kini juga menjadi sebuah tantangan. Maka modifikasi iklim mikro tanaman dilakukan dengan menjaga kelembaban dan suhu tanah, mencegah erosi tanah dan leaching unsur hara karena run-off di permukaan tanah serta mengurangi evaporasi air tanah.
“Hal ini dapat dilakukan misalnya dengan pemulsaan menggunakan bahan organik seperti jerami dan potongan rumput maupun maupun plastik. Mulsa membantu konservasi air dengan meminimalkan penguapan di permukaan tanah,” jelasnya.
Adapun pemulsaan menggunakan berbagai jenis bahan, berpotensi menjaga kelembaban tanah, mengurangi kehilangan penguapan, dan menekan populasi gulma. Penggunaan mulsa yang berbeda memberikan juga dampak yang signifikan terhadap pertumbuhan, hasil, dan kualitas berbagai tanaman. (K24)