Bisnis.com, MALANG — Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Jatim meminta agar tarif pajak hiburan tidak naik, tetap di rentang 25%-40%, karena industri masih belum mampu jika tarif melebihi persentase itu.
Ketua PHRI Jatim, Dwi Cahyono, mengatakan selain soal tarif, yang juga disayangkan industri terkait pelaksanaan pemungutan pajak tersebut. Pajak hiburan diberlakukan tanpa sosialisasi. "Padahal untuk menerapkan tarif baru, kami perlu waktu yang cukup untuk sosialisasi ke konsumen," katanya, Rabu (17/1/2024).
Momentum kenaikan tarif pajak hiburan, kata dia, juga tidak tepat. Tahun ini sebenarnya masih tahap pemulihan bagi pelaku industri.
Bisnis memang sudah berjalan, namun hasil dari pengelolaan bisnis lebih banyak diperuntukkan membayar utang dampak dari Covid. "Ketika Covid, perusahaan meminta beragam relaksasi. Nah tahun waktu melunasi utang-utang itu," ujarnya.
Oleh karena itulah, jika tarif pajak hiburan naik menjadi di range 40%-70%, maka industri tidak mampu karena tingkat kemampuan konsumen tidak tinggi.
Pengalaman di Mojokerto, kata Dwi, dengan pajak hiburan ditetapkan 35%, maka tempat hiburan di sana sepi. Dampaknya, pemerintah akan menurunkan lagi tarif pajak hiburan.
Baca Juga
Namun dengan ketentuan pajak hiburan, maka pemerintah kembali menaikkan menjadi 45%. Di Kab/Kota Malang, tarif pajak hiburan 50%. Dengan tarif pajak sebesar itu, dia memastikan, tempat hiburan akan sepi karena daya beli masyarakat belum kuat benar.
Oleh karena itulah, PHRI Jatim meminta pemerintah tidak menaikkan pajak hiburan, setidaknya pada tahun ini.
Jika pemerintah bersikukuh menaikkan tarif pajak hiburan, dia menegaskan, harus dilakukan sosialisasi terlebih dahulu sehingga perusahaan dapat mempersiapkan diri dengan baik.
Selain itu, kenaikannya dilakukan secara bertahap di range yang masuk akal, yakni di kisaran 30%-35%. Ini juga hasil Rakerda PHRI di Malang, Rabu (17/1/2024).
“Repotnya, fasilitas-fasilitas hiburan kan bagian dari layanan hotel untuk menjaring konsumen MICE. Kalau layanan tersebut ditiadakan, maka hotel akan turun kelas dan ditinggalkan konsumen karena tidak adanya fasilitas yang lengkap,” ucapnya.
Ekonom Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya, Joko Budi Santoso, menilai terkait beberapa basis pajak hiburan yang tarifnya pada range 40-75% tentunya harus disikapi dengan bijak.
Rembug bareng antara pemerintah daerah dengan para pelaku usaha, kata dia, harus dilakukan untuk dapat menentukan tarif yang tidak destruktif terhadap iklim usaha yang kondusif.
Di satu sisi pemberlakuan pajak hiburan tersebut dapat menaikkan pendapatan daerah, namun dampak lanjutannya dapat mematikan bidang usaha tersebut. Kota Malang sebagai daerah tujuan wisata, menurut dia, juga tidak akan bisa lepas dari dunia hiburan sebagai pelengkap dan daya tarik wisatawan ke kota tersebut.
Namun, kata dia, hal ini perlu peningkatan pengawasan, khususnya batas usia pengunjung, peredaran narkoba, maupun produk-produk yang dijual harus mematuhi ketentuan yang berlaku, seperti barang-barang yang kena cukai.(K24)