Bisnis.com, SURABAYA — Kalangan pengusaha emas dan perhiasan di Jawa Timur meminta Direktorat Jenderal Pajak (DJP) se-Jatim untuk serius dalam melakukan penegakan hukum terhadap wajib pajak (WP) sektor emas dan perhiasan yang tidak patuh agar tercipta iklim usaha yang sehat.
Ketua Asosiasi Produsen Perhiasan Indonesia (APPI) Eddy Susanto Yahya mengatakan, sejak diberlakukannya Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No.48 Tahun 2023 tentang pajak emas dan perhiasan pada 1 Mei 2023, industri perhiasan mengalami kinerja omzet yang merosot hingga 90 persen.
“Sejak PMK 48 ini diberlakukan, dan sudah tiga bulan ini ternyata terjadi distorsi luar biasa, di mana perusahaan yang patuh kehilangan order dan ditinggalkan konsumen sehingga sampai harus merumahkan karyawan, dan memberi subsidi untuk karyawan. Lalu yang tidak patuh malah santai kedatangan konsumen,” katanya dalam Konferensi Pers Pengawasan & Penegakan Hukum sektor emas di Surabaya, Rabu (26/8/2023).
Dia mengatakan, sejatinya pengusaha/produsen perhiasan, grosir dan toko emas sangat mendukung adanya PMK 48/2023 ini karena diyakini akan menciptakan ekosistem emas perhiasan yang taat pajak, keterbukaan industri dari hulu sampai hilirnya, serta tercipta kesetaraan iklim usaha.
“Kami ingin DJP menjamin tidak ada ruang untuk transaksi perhiasan di level manapun yang bersifat gelap, yang tidak pakai PPN dan PPh, dan yang tidak mencantumkan NPWP secara jelas seperti sebelumnya,” katanya.
Dia mengatakan, jumlah anggota APPI sendiri saat ini mencapai 14 pabrikan, sebanyak 50 persen di antaranya berada di Jatim. Saat ini, industri/produsen emas perhiasan yang tidak terlalu mengalami kemrosotan kinerja yakni industri yang berorientasi pasar ekspor, sedangkan industri yang orientasinya pasar domestik mengalami penurunan utilitas sampai 90 persen.
Baca Juga
“Kami sendiri dalam tiga bulan ini kesulitan untuk mendapatkan identitas NPWP pelanggan kami, karena sebelumnya saat kami menyuplai barang, pelanggan kami (distributor) tidak perlu menyebutkan NPWP,” imbuhnya.
Ketua Asosiasi Pedagang Emas Perhiasan Indonesia (APEPI) Jatim, Liana Kurniawan menambahkan, sejauh ini para pedagang sudah tertib mau melakukan perbaikan administrasi perpajakan tetapi yang terjadi malah kalah bersaing dengan yang tidak taat pajak.
“Kami di asosiasi sendiri kesulitan dalam menentukan harga patokan emas 24 karat yang tepat karena selisih harga bisa sampai puluhan ribu, padahal selisih Rp1.000 - Rp2.000 sudah sangat sensitif. Jadi kami mohon bantuan DJP untuk bangun ekosistem usaha yang lebih sehat,” katanya.
Liana menambahkan, saat ini di level distributor juga masih agak susah terbuka dalam memberikan NPWP, sedangkan para pedagang di bawahnya harus melewati jalur distribusi lebih dulu.
“Jadi mungkin belum ada komunikasinya satu pintu dari produsen, distributor dan pedagang. Faktor kenapa mereka tidak mau memberikan NPWPnya mungkin juga karena takut, atau terlena di zona nyaman yang terlalu lama,” imbuhnya.
Kepala Kanwil DJP Jatim I, Sigit Danang Joyo mengatakan saat ini pihaknya terus melakukan sosialisasi terkait PMK ini dan menjaring potensi-potensi Penerimaan pajak dari sektor emas perhiasan dari mulai industrinya hingga tokonya.
“Saat ini kami belum punya target penerimaan, tetapi kami menjaring semua transaksi yang dilakukan pelaku baik pedagang dan pabrikan supaya mereka terdata dulu, karena mereka dalam PMK ini diwajibkan punya PKP (Perusahaan Kena Pajak) yang bisa menerbitkan faktur. Kalau semua sudah terjaring dalam sistem maka tidak ada lagi kekhawatiran adanya emas ilegal, penambang tidak berizin dan lainnya,” jelasnya.
Danang menambahkan, keberadaan PMK 48/2023 ini juga seharusnya sangat menguntungkan bagi konsumen, sebab umumnya pengenaan PPN untuk konsumen yakni sekitar 11 persen, tetapi melalui PMK ini, PPN di konsumen akhir jatuhnya hanya dikenakan 1,65 persen.