Bisnis.com, MALANG — Industri hasil tembakau (IHT) akan semakin terhimpit ruang geraknya oleh regulasi karena nantinya kewenangan Kementerian Kesehatan dalam mengatur industri tersebut lebih kuat.
Ekonom Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya, Joko Budi Santoso, mengatakan meski pemerintah menghapus pasal yang memuat tembakau setara dengan narkotika dengan disahkannya UU Kesehatan, namun IHT terus terhimpit dengan berbagai peraturan.
“Dalam konteks ini, pengesahan UU Kesehatan lebih condong pada penguatan kewenangan Kementerian Kesehatan dalam mengatur IHT bukan pada Kementerian Perindustrian maupun Kementerian Perdagangan yang mestinya menggawangi IHT,” katanya, Kamis (15/7/2023).
Terkait dengan pengaturan produk tembakau termasuk perdagangannya, menurut dia, seharusnya pemerintah tetap fokus pada PP 109 tahun 2012 karena PP ini implementasinya belum optimal, bukan dengan menambah aturan baru yang terus menghimpit IHT.
Di sisi lain, ujar dia, pemerintah juga kurang tegas dalam menangkap potensi obyek barang kena cukai (BKC) seperti produk makanan minuman yang berdampak besar pada kesehatan masyarakat. Padahal, menurut Joko, kontribusi IHT pada penerimaaan negara, penyerapan tenaga kerja dari hulu sampai hilir dan petani di pertanian tembakau seolah terabaikan.
Disamping itu, kelambanan dalam penetapan roadmap IHT juga semakin menggerus IHT sehingga industry heritage Indonesia dengan kandungan lokal yang tinggi akan semakin terjungkal.
Baca Juga
Oleh karena itulah, dia berharap, pemerintah harus lebih bersikap arif, keadilan dan perlindungan industri dalam negeri seharusnya menjadi prioritas disaat negara masih membutuhkan pendapatan tinggi untuk menyokong pertumbuhan ekonomi 6-7 persen per tahun demi mewujudkan Indonesia Emas 2045.
Dengan kebijakan penerapan peredaran produk tembakau yang semakin dipersempit dan kebijakan tarif cukai yang terus naik secara eksesif, kata dia, maka gap harga produk IHT legal dengan ilegal semakin tinggi, sehingga ceruk pasar produk IHT ilegal semakin besar.
Dampaknya, produk IHT legal semakin tidak kompetitif dan pada akhirnya penerimaan negara dari sektor cukai produk IHT akan menurun.
Di sisi lain, ujar Joko yang juga Peneliti Senior Pusat Penelitian Kebijakan Ekonomi Fakultas Ekonomi Bisnis Universitas Brawijaya itu, produsen kecil akan banyak yang gulung tikar dan produsen besar akan melakukan efisiensi dengan rasionalisasi karyawan sehingga PHK besar di sektor IHT dan industri yang terkait dari hulu sampai hilir tidak bisa dihindarkan.
Dia menegaskan, pemerintah sendiri belum punya langkah antisipatif atas ancaman PHK dan penurunan penerimaan cukai yang turun.“Proyeksi penurunan cukai dan terjadinya PHK akibat penerapan UU Kesehatan, masih belum bisa diprediksi karena masih belum dibuat simulasinya,” ujarnya.
Menurut dia, sangka simulasi yang ada, terkait peredaran rokok ilegal. Ketika rokok ilegal naik menjadi 20 persen karena celah harga yang semakin tinggi dan daya beli berkurang, maka volume produksi turun 6 persen dan penerimaan CHT turun 1,4 persen.
Ketua Forum Masyarakat Indonesia Rokok Seluruh Indonesia (Formasi), Heri Susianto, berharap dengan telah disahkannya UU Kesehatan tidak mengganggu ekosistem IHT yang sudah baik. Jangan ada peraturan-peraturan yang saling tumpang tindih, terutama dengan dikuatkan peran Kementerian Kesehatan dalam mengatur IHT.
Jika terjadi tumpang tindih, maka dampaknya bisa meluas, terutama mengganggu kinerja IHT. Dengan terganggunya kinerja IHT, maka otomatis akan mengurangi jumlah tenaga kerja, PHK, karena produksi yang menurun.
Pengalaman tahun ini, kata dia, dengan penerapan tarif cukai yang eksesis telah berdampak pada kinerja IHT. Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati, sudah memberikan sinyal penerimaan negara diperkirakan mengalami short cut sehingga diperkirakan hanya mencapai di kisaran 95 persen dari target.
Hal terjadi karena penaikan tarif cukai yang diharapkan dapat meningkatkan penerimaan terjadi lebih rendah bila dibandingkan kehilangan penerimaan negara karena produksi IHT yang turun. “Apalagi jika ditambah dengan regulasi yang ketat dan semakin memperkecil ruang gerak IHT, maka penerimaan negara pasti akan lebih turun,” ucapnya.(K24)