Bisnis.com, SURABAYA — Kalangan pengusaha/petambak garam rakyat seperti mendapatkan angin segar atas lahirnya Peraturan Presiden (Perpres) No.126/ 2022 tentang Percepatan Pembangunan Pergaraman Nasional, salah satunya soal kepastian penyerapan produksi garam rakyat oleh industri.
Hanya saja, regulasi tersebut masih belum dapat diimbangi dengan kinerja produksi garam rakyat, yang saat ini jauh dari jumlah kebutuhan garam nasional, baik untuk konsumsi maupun untuk industri.
Ketua Himpunan Masyarakat Petambak Garam (HMPG) Jawa Timur, M. Hasan mengatakan melalui Perpres No.126/2022 diharapkan pemerintah akan lebih memberdayakan masyarakat petambak garam, sebab tantangan dalam memproduksi garam, utamanya garam spesifikasi khusus industri itu tidak mudah.
“Pemerintah memberi spirit kuat agar produksi garam rakyat ini diserap oleh industri. Tapi ini berat bagi petambak kalau pemerintah tidak hadir dalam pemberdayaan, khususnya dalam menggenjot produktivitas garam,” ujarnya di sela-sela FGD tentang Implemnetasi Perpres No.126/2022 di Surabaya, Selasa (4/7/2023).
Dia mengatakan pada tahun ini produksi garam khususnya di Jatim diprediksi akan mencapai 750.000 ton atau sekitar 80 persen dari kondisi normal. Jumlah tersebut masih lebih bagus dibandingkan produksi 2022 yang anjlok menjadi hanya 450.000 ton akibat kondisi cuaca buruk.
“Tahun ini cuacanya lumayan lebih baik, tetapi kelihatannya masih ada sedikit hujan. Pada saat cuaca normal, produksi garam rakyat di Jatim bisa mencapai 1 juta ton bahkan lebih, di mana Jatim berkontribusi 60 persen terhadap produksi garam nasional,” jelasnya.
Baca Juga
Soal harga, kata Hasan, saat ini harga garam petambak sangat bagus sekitar Rp4.000/kg jauh dari HPP yang dulu sempat diusulkan kepada pemerintah sebesar Rp1.500/kg. Tingginya harga garam ini dipengaruhi oleh pasokan garam yang terbatas lantaran produksinya yang turun.
Plt. Dirjen Industri Kimia, Farmasi, dan Tekstil Kementerian Perindustrian, Ignatius Warsito menjelaskan kebutuhan garam nasional saat ini sekitar 4,9 juta ton/tahun. Sebanyak 90,9 persen (4,5 juta ton) di antaranya merupakan kebutuhan untuk industri dan manufaktur.
“Garam industri ini misalnya digunakan untuk industri aneka pangan, alkali, farmasi, dan water treatment, penyamak kulit, sabun, pertambangan, dan pengolahan ikan,” katanya.
Warsito mengatakan, memang tidak mudah dalam mengimplementasikan Perpres No.126/2022 tersebut mengingat produksi garam nasional dalam 10 tahun terakhir ini hanya mampu mencapai 2,9 juta ton/tahun jauh dari kebutuhannya.
Di samping itu, tuntutan spesifikasi garam industri dengan harga yang kompetitif juga menjadi masalah utama yang membenturkan petani dengan aktivitas impor. Namun hal ini diharapkan tidak terjadi.
Untuk itu, Lanjut Warsito, Kemeperin akan bersinergi dengan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KPP) sehingga permasalahan produksi garam dari hulu hingga hilir dapat teratasi.
“Kemenperin dan KKP harus saling melengkapi, baik untuk kebutuhan konsumsi maupun industri, dan dari sisi kuantitas dan kualitas garam. Kami berharap, seluruh pihak terkait dapat saling urun rembug dari menyelaraskan persepsi atas kebijakan yang ada,” imbuhnya.