Bisnis.com, MALANG — Kompensasi terkait penyesuaian harga BBM harusnya juga diberikan pada kelompok rentan miskin karena kelompok ini dengan mudah masuk di bawah garis kemiskinan ketika pendapatan tetap tetapi garis kemiskinan naik karena inflasi.
Ekonom dari Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya, Joko Budi Santoso, menilai penyesuaian harga BBM subsidi dan nonsubsidi menjadi kado spesial pada awal September. Fakta ini akan menjadi tekanan berat bagi proses pemulihan ekonomi pasca Covid-19.
“Selain itu, gejolak sosial politik akan turut mewarnai panasnya kebijakan tak populis ini,” katanya, Rabu (7/9/2022).
Dari sisi ekonomi, kata dia, tekanan kenaikan harga atau inflasi akibat kenaikan BBM tidak akan terelakkan. Pertaruhan besar dilakukan pemerintah dengan menaikan harga BBM non subsidi demi menjaga kesinambungan fiskal.
Efek kejut pada perekonomian dapat sedikit diredam dengan kompensasi pencairan BLT dan Bantuan Subsidi Upah (BSU) pada 1 September demi menjaga daya beli. “Namun sepertinya hal ini tidak cukup, kelompok rentan miskin juga perlu mendapat kompensasi," ujarnya.
Sinergi penguatan daya beli, kata dia, juga harus dilakukan oleh pemerintah daerah dengan kebijakan stabilisasi harga pangan dan penguatan bantuan sosial melalui APBD.
Baca Juga
Belum lagi di sektor usaha, dari skala mikro sampai besar, penyesuaian kenaikan biaya produksi tak terelakkan sehingga potensi gulung tikar dan rasionalisasi karyawan di depan mata.
“Tentunya ini diharapkan tidak terjadi, insentif fiskal berupa keringanan perpajakan dapat menjadi bantalan dalam menyesuaikan siklus bisnis perusahaan.” ucapnya.
Menurut dia, sosialisasi yang masif dan rasional alasan kebijakan kenaikan BBM, termasuk program kompensasinya menjadi mutlak dilakukan dalam meredam gejolak sosial politik yang terjadi.(K24)