Bisnis.com, SURABAYA – Organisasi Angkutan Darat (Organda) Kota Surabaya meminta agar pemerintah bijaksana dalam memberikan kebijakan harga bahan bakar minyak atau BBM yang bisa berdampak pada masyarakat, pelaku transportasi hingga industri.
Ketua Organda Surabaya Sunhaji Ilahoh mengatakan harga BBM nonsubsidi seperti Pertamax memang sudah naik, dan Pertamina telah memastikan bahwa harga BBM subsidi seperti Pertalite dan solar tidak akan naik untuk kepentingan masyarakat.
“Namun nyatanya hari ini untuk Pertalite dan solar sudah mulai langka, di beberapa SPBU di Surabaya kadang-kadang ada yang habis, ada yang masih ada, yang akhirnya terpaksa membeli Pertamax. Bahkan di daerah-daerah itu sudah tidak ada, nah ini kalau diteruskan bagaimana jadinya,” katanya saat dihubungi Bisnis, Senin (4/4/2022).
Selain itu, lanjut Sunhaji, saat ini beredar rumor bahwa Pertalite dan solar subsidi akan dihapus. Padahal selama ini armada yang dimiliki Organda Surabaya untuk angkutan bus, taksi, dan mikrolet mengandalkan BBM Pertalite, sedangkan bus dan truk bergantung pada solar.
“Nah ini kita sekarang menjadi resah bagaimana ke depan. Dalam dua tahun ini saja kami sudah susah karena pandemi yang membuat 70 persen armada kita tidak beroperasi,” katanya.
Dia menambahkan untuk menyikapi kenaikan BBM, pelaku transportasi umum juga tidak mudah untuk menaikkan tarif angkutan. Bahkan, sejak 2014 tidak pernah ada kenaikan tarif.
Baca Juga
“Kalau tarif dinaikkan, penumpang kita bisa habis. Harapan kami, pemerintah wajib dengan arif dan bijaksana melihat masyarakat yang tidak berdaya ini,” imbuhnya.
Ketua Harian Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Jatim Bambang Haryo menilai kenaikan harga BBM Pertamax, serta kelangkaan BBM subsidi jenis solar dan Pertalite membebani masyarakat. Tak hanya itu, kondisi ini juga berdampak multi-sektoral dari inflasi, UMKM, pertanian, nelayan hingga industri.
“Apalagi kondisi ekonomi belum sepenuhnya pulih akibat dampak pandemi Covid-19, ditambah lonjakan harga bahan kebutuhan pokok,” katanya.
Bambang pun mendesak Presiden Joko Widodo dan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) untuk turun tangan melakukan intervensi dalam mengendalikan harga BBM.
Menurutnya, penentuan harga BBM menjadi kewenangan pemerintah yang mengutamakan asas perlindungan kepada masyarakat, sebagaimana amanat Pasal 33 UUD 1945.
“Pemerintah seharusnya dapat bercermin pada pemerintahan terdahulu terkait kebijakan harga BBM, mulai dari era Presiden Soeharto sampai dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono,” katanya.
Pada saat pemerintahan Soeharto, tuturnya, harga BBM sejak 1980 - 1990 sebesar Rp150/liter atau sama dengan harga BBM di Arab Saudi. Pada 1998 ketika krisis moneter dan dolar AS tembus Rp16.000, harga BBM Oktan 90 terpaksa dinaikkan dari Rp700/liter menjadi Rp1.200/liter. Namun Presiden BJ Habibie menurunkan kembali harga BBM menjadi Rp600/liter.
Kemudian, Presiden Abdurrahman Wahid sempat menurunkan harga BBM pada 2000 dari Rp1.000/liter menjadi Rp600/liter, bahkan Presiden SBY sempat menurunkan harga pada 2008 dari Rp5.500/liter menjadi Rp4.500/liter.
“Dalam 10 tahun Pemerintahan SBY hanya terjadi satu kali kenaikan pada 2013, itupun diprotes keras oleh masyarakat dan elit politik. Padahal ada alasan terkait harga minyak dunia naik dan terakumulasi tinggi pada 2008 - 2013 sebesar US$145/barrel,” kata Bambang Haryo.
Di masa Pemerintahan Joko Widodo, dalam jangka 5 tahun terjadi kenaikan harga BBM beberapa kali, padahal harga minyak mentah dunia pada 2016 sempat turun rendah di bawah US$30/barrel pada 2016.
Pada 2020, harga minyak mentah bahkan turun lagi menjadi US$11/barrel. Saat itu, harga minyak Ron 98 di Arab Saudi US$0.2 atau Rp2.800/liter, sedangkan di Indonesia tetap Rp9.800/liter.
"Seharusnya di Indonesia harga BBM tidak lebih dari Rp4.000/liter, karena sampai saat ini harga minyak dunia yang mendasari harga BBM di Indonesia disebabkan Indonesia mengimpor 100 persen dari beberapa negara total 10,59 juta ton, yakni 40 persen dari Arab Saudi, 29 persen dari Nigeria dan 14 persen dari Australia," jelasnya.
Bambang Haryo juga membandingkan harga di Indonesia dengan Malaysia yang juga mengimpor 100 persen dari luar negeri. Harga BBM di Malaysia untuk Ron 95 yakni RM2,05 atau Rp6.972/liter, untuk Ron 97 yakni RM3,91 atau Rp13.297/liter, dan disel RM2,85 atau Rp7.312/liter.
Menurut dia, harga BBM di Malaysia pada Maret untuk Ron 95 sebesar 2,05 ringgit atau Rp6.972/liter, Ron 97 sebesar 3,91 ringgit (Rp13.297), diesel 2,85 ringgit (Rp7.312),
“Bahkan untuk transportasi publik dan logistik Malaysia menyediakan bahan bakar gas yang sangat murah sebesar RM1,19 atau Rp4.057/liter,” imbuhnya.