Bisnis.com, SURABAYA — Kalangan pengusaha pelayaran dan para eksportir di Jawa Timur menilai Pemprov Jatim perlu mengalokasikan subsidi untuk biaya tarif ocean freight yang saat ini masih sangat tinggi guna bisa menggenjot kinerja ekspor tahun ini.
Ketua Indonesia National Shipowner’s Asscociation (INSA) Surabaya, Stenvens H. Lasawengen mengatakan kondisi kenaikan tarif ocean freight sudah berlangsung cukup lama sejak akhir tahun lalu, dan hingga kini masih cukup tinggi.
“Memang saat ini sudah ada penurunan tarif dibandingkan sebelumnya tetapi sangat kecil dan tidak signifikan. Artinya penurunan tarif tidak seperti yang diharapkan para eksportir, karena dulu tarif freightnya murah sekali,” ujarnya kepada Bisnis, Kamis (3/6/2021).
Dia mengatakan shortage kontainer kini hampir tidak ada, begitu pun problem keterbatasan ruang kapal yang tahun lalu dikeluhkan para pengguna angkutan laut telah teratasi, tetapi tarif angkutan laut ternyata masih sulit diturunkan.
“Kenaikan tarif ocean freight ini merupakan masalah B to B. Banyak kapal melayani angkutan barang ke China karena bersedia membayar tarif tinggi, kondisi begini di luar kontrol kami,” ujarnya.
Stenvens menjelaskan, saat pandemi terjadi di seluruh dunia, China lebih dulu berhasil mengatasi penyebaran virus tersebut lalu lalu menggenjot ekspor sehingga membutuhkan banyak kontainer. Kemudian, lanjutnya, para pemilik barang di China bersedia membayar tarif ocean freight yang tinggi karena memperoleh subsidi dari pemerintah negara itu melalui perusahaan pelayaran.
Baca Juga
“Untuk itu, pemerintah perlu mengalokasikan subsidi untuk menggenjot ekspor seperti yang dilakukan pemerintah China, karena kenaikan ocean freight diprediksi akan berlangsung hingga Juli bahkan Desember mendatang,” ujarnya.
Menurutnya, tahun lalu kenaikan ocean freight mencapai 400 - 500 persen sehingga membebani pemilik barang yang dikhawatirkan dapat menurunkan daya saing komoditas ekspor. Awalnya tarif yang melambung itu diperkirakan bakal turun pada Februari, ternyata hingga kini belum terjadi.
Wakil Ketua Asosiasi Logistik dan Forwading Indonesia (ALFI) Jatim, Arif Tejo mengatakan teknis pemberian subsidi perlu dibicarakan bersama. Setidaknya pemberian subsidi ini bisa melegakan eksportir terutama di saat pandemi seperti saat ini. “Pemberian subisidi ini diharapkan agar eksportir tidak tergencet beban berat tarif ocean freight yang tinggi,” ujarnya.
Ketua Gabungan Perusahaan Ekspor Indonesia (GPEI) Jatim, Isdarmawan Asrikan menambahkan, kenaikan ocean freight yang fantastik bisa memperlemah daya saing komoditas ekspor Jatim.
“Untuk itu, beban pengguna angkutan laut kini perlu diringankan, karena pemilik barang dan perusahaan pelayaran itu bagai dua sisi mata uang yang saling membutuhkan satu sama lain,” imbuhnya.
Kepala BPS Jatim, Dadang Hardiwan mengatakan kinerja ekspor non migas di Jawa Timur pada April 2021 tercatat mencapai US$1,76 miliar atau mengalami penurunan -4,31 persen jika dibandingkan dengan Maret 2021 yang mencapai US$1,84 miliar.
“Namun jika dibandingkan periode yang sama tahun lalu, ekspor kita sebenarnya tumbuh 28,96 persen atau hanya tercapai US$1,37 miliar. Ini menunjukkan dunia mulai pulih setelah lebih dari setahun pandemi,” ujarnya.
Adapun ekspor non migas pada April lalu sebanyak 7,48 persen disumbang oleh sektor pertanian, disusul pertambangan 9,26 persen dan industri 83,09 persen.