Bisnis.com, SURABAYA — Tren permintaan pasar baja ringan tahun ini diperkirakan masih akan sama kondisinya seperti tahun Lalu yakni sekitar 1,1 juta ton meskipun sudah ada relaksasi dari pemerintah terkait pembebasan PPN 10 persen di sektor properti.
Henry Setiawan, Ketua Klaster Baja Lapis Aluminium Seng, The Indonesia Iron and Steel Industry Association (IISA), mengatakan permintaan baja ringan pada 2020 memang drop karena dampak dari pandemi, termasuk karena pengaruh harga baja dunia yang melambung sehingga mempengaruhi daya beli masyarakat.
“Sehingga pada 2020 permintaan pasar baja ringan hanya mampu mencapai 1,1 juta ton secara nasional, atau turun jika dibandingkan permintaan pada 2019 yang mampu mencapai 1,6 juta ton,” jelasnya, Selasa (16/3/2021).
Dia mengatakan meskipun sudah ada stimulus berupa PPN 10 persen untuk pembelian rumah, tetapi hal itu dinilai tidak terlalu berpengaruh banyak terhadap kebutuhan baja ringan seperti untuk atap rangka besi.
“Memang sentimen positif akan terjadi di sektor baja ringan terkait pembangunan residensial yang dilakukan para pengembang dari manfaat relaksasi pemerintah, tapi saya melihat stok atau ketersediaan rumah tapak dari pengembang masih ada sehingga stok tersebut yang lebih dioptimalkan penjualannya,” jelasnya.
Alhasil, pada kuartal II/2021 nanti sektor properti akan terjadi peningkatan utilisasi dari pasokan unit rumah yang sudah ada. Namun begitu, pada semester II/2021 diharapkan akan mulai terjadi peningkatan permintaan baja ringan.
Baca Juga
“Selain itu, kami berharap ada momen Lebaran bisa mengerek penjualan baja ringan karena biasanya ada tren orang melakukan renovasi rumahnya. Walaupun sebetulnya selama pandemi katanya banyak orang renovasi rumah, tetapi untuk baja ringan lebih didominasi oleh urgensi, misalnya material kayu yang sudah lapuk dan perlu diganti dengan rangka besi,” jelasnya.
Henry yang juga Presiden Direktur PT Sunrise Steel itu menambahkan meski pasar sedikit berat tahun ini, tetapi kalangan industri baja ringan di Indonesia cukup lega, pasalnya pemerintah telah berhasil mengurangi importasi baja sehingga utilisasi industri dalam negeri bisa berkembang.
“Dari penurunan pasar sebanyak 500.000 ton itu masih ada berita baiknya yakni Kementerian perindustrian telah mengendalikan impor, sehingga utilisasi dalam negeri masih terjaga,” imbuhnya.
Dia pun menjelaskan selama ini kontribusi baja impor mencapai 50 persen, dan baja lokal juga 50 persen. Sejak dilakukan pembatasan impor, kini kontribusi baja impor di Indonesia hanya sekitar 25 persen, sedangkan 75 persen sudah dikuasai produk dalam negeri.