Bisnis.com, BLITAR — Bisnis cokelat dan produk turunannya sangat prospektif di masa depan, mengikuti tren kopi yang sudah booming.
Direktur Pengembangan Bisnis Kampung Coklat Blitar Akhsin Al Fata mengatakan di dunia tren konsumsi cokelat, terutama di Eropa, menunjukkan peningakatan, yakni dari 6,5 kg/kapita menjadi 7,6 kg/kapita.
“Mengikuti tren dunia, di Indonesia juga akan meningkat konsumsinya mengikuti kopi yang sudah booming,” katanya pada Webinar Ngopi Volume 17, Rabu (23/9/2020).
Dari raw material, kakao, Indonesia termasuk penghasil kakao terbesar ke empat di dunia. Namun citra sebagai produsen justru ada pada Eropa, yakni Swiss, Belgia, Perancis, dan Spanyol.
Oleh karena itulah, potensi itu harus ditangkap pengusaha UMKM di Indonesia, terutama di Jatim. UMKM mengembangkan produk turunan dari cokelat.
Ada banyak produk makanan olahan dari maupun dicampur dengan cokelat. Mengikuti tren di Eropa, kakao gelap juga sangat baik dikonsumsi untuk minuman panas seperti kopi dengan disajikan tanpa gula karena kandungan teobromin-nya.
Baca Juga
Teobromin mengandung oksidan tinggi, sangat baik untuk meningkatkan kinerja jantung. “Di era pandemi seperti saat ini, gaya hidup masyarakat sudah mulai bergeser, mengarah pada gaya hidup sehat. Termasuk pada pola konsumsi sehingga memasarkan produk cokelat hitam menjadi prospektif,” ujarnya.
Dalam mengembangkan produk derivatif dari cokelat, kata dia, Kampung Coklat Blitar siap berkolaborasi dengan UMKM sebagai mentoring. UMKM bisa belajar mengembangkan produk makanan olahan berbasis cokelat dengan belajar di destinasi wisata tersebut.
“Kampung Coklat juga akan membantu UMKM untuk menghitung dari sisi kelayakan bisnisnya,” ujarnya.
Idealnya, petani kakao bisa mengolah biji kakao menjadi produk cokelat batangan. Namun prosesnya ternyata tidak mudah, membutuhkan investasi yang tinggi karena harus menggunakan teknologi yang tinggi untuk memisahkan butter dan bubuk.
“Tidak seperti pengolahan kopi yang lebih sederhana,” ucapnya.
Oleh karena itulah, terkait kerja sama dengan UMKM, maka mereka bisa memanfaatkan produk cokelat batangan untuk diolah menjadi produk makanan yang mempunyai nilai tinggi.
Menjadi masalah saat ini terkait dengan pengembangan produksi dan konsumsi cokElat, masalah edukasi. Dari sisi produksi, petani rakyat kurang sabar dalam budi daya kakao. Jika harga turun, mereka abai dalam perawatan, namun saat harganya tinggi, ramai-ramai menanam kakao.
Dari sisi konsumsi, di benak masyarakat, rasa cokelat masih identik dengan manis. Padahal di Eropa, trennya bergeser, banyak masyarakat yang mengkonsumsi cokelat gelap. Varian rasa cokelat juga beragam.
Jika cokelat sudah memasyarakat, terutama di Jatim, maka daerah tersebut nantinya akan dikenal sebagai daerah yang kuat dengan brand cokelatnya. Hal itu bisa terjadi jika konsumsi cokelat sudah tinggi, mengikuti kopi sehingga di mana-mana berdiri toko cokelat.
“Nantinya, setiap wisatawan ke Jatim bisa membeli cokelat untuk oleh-oleh karena produknya memang bagus. Dengan demikian, maka akan ketemu antara raw material cokelat dan produk olahannya,” ujarnya.
Di Jatim, sentra produksi berada di Jember, Madiun, Banyuwangi, Pacitan, Trenggalek, Malang, Ponorogo, Mojokerto serta Kab. Blitar dan lainnya.(K24)