Bisnis.com, MALANG—Pemerintah hasil Pemilu 2019 dinilai perlu mempertimbangkan model ekonomi Gus Dur (Abdurrahman Wahid) untuk menciptakan kedaualtan ekonomi dan politik.
Ekonom Rizal Ramli mengatakan pemerintahan Gus Dur ditandai dengan keinginan kuat untuk berdaulat, baik ekonomi dan politik serta ada keberpihakan.
“Jadi ekonomi itu bukan hanya soal hitung-hitungan. Itu sih tukang. Yang penting, berpihak pada siapa dulu, baru dicari hitungan-hitungannya,” katanya di Malang, Kamis (31/1/2019).
Karena adanya keberpihakan itulah, maka menjalakannya segala sesuatu menjadi mudah. Karena itulah, saat itu ekonomi tumbuh dari minus 3% menjadi 4,5%, kesejahteraan rakyat meningkat, pangan stabil, gini indeks 0,3% terendah dalam sejarah Indonesia.
Saat ini, dia menilai, justru masalah keberpihakan itu justru kurang jelas. Pemerintah menyatakan ingin pangan berdaulat, namun dalam empat tahun kemudian yang terjadi justru sebaliknya.
Karena itulah, ke depan perlu adanya kedaulatan pangan yang konsisten, kedaulatan energi yang konsisten.
Baca Juga
Dia optimistis, model Ekonomi Gus dapat untuk diterapkan. Misalnya soal kedaulatan pangan, kalau sungguh-sungguh, maka pemerintah dapat menghapuskan sistem kartel kuota impor.
“Kenakan saja tarif 25%-30% untuk melindungi komoditas dalam negeri, namun siapapun boleh melakukan impor. Untuk itu diperlukan dan ditunjuk ditunjuk profesional yang tidak mempunyai kepentingan sebagai personalianya,” ujarnya.
Untuk masalah kedaulatan pangan, dia mengusulkan, perlu membuka sawah baru seluas 1 juta hektare. Namun pembukaan sawah baru itu jangan sampai meniru zaman Soeharto karena memilih lokasi yang tidak tepat.
Sawah baru bisa dicetak di Sulewasi Tengah, Tenggara, Selatan yang air ya banyak, sebagian Sumatera, Memberamo. Jika dalam tiga tahun berhasil dicetak 1 hektare sawah, maka ada tambahan 5 juta ton/tahun. Setengahnya bisa diperuntukkan untuk memenuhi kebutuhan konsumsi dalam negeri, sisanya untuk ekspor bagi negara yang membutuhkan dengan kredit.
Begitu juga mengatasi masalah pemenuhan gula dalam negeri, maka perlu dicetak 500.000 hektare lahan tebu dengan menggunakan bibit unggul dengan produktivitas dua kali daripada bibit dari Brazil. Juga perlu mengembangkan gula aren.
Sedangkan untuk pemenuhan kebutuhan jagung, perlu dicetak 1 juta hektare lahan untuk tanaman jagung sehingga kebutuhan pangan untuk peternak aman. “Kalau sungguh-sungguh, bisa dicapai. Indonesia bisa menjadi gudang pangan ASEAN,” ucapnya.
Terkait dengan pembiayaan pembangunan, perlu adanya transformasi dari pembiayaan dari luar negeri beralih dengan memperkuat basis pembiayaan dari dalam negeri.
Model pembiayaan dari luar negeri, dia mengusulkan, juga perlu dilakukan dengan cara yang cerdas. Seperti yang dilakukan saat menjadi Menko Perekonomian di era Pemerintahan Gus Dur, melakukan pembicaraan dengan negara donor untuk pengalihan sebagian utang luar negeri dengan imbalan perbaikan hutan di Kalimantan.
“Ini momennya tepat karena masalah global warming saat ini menjadi perhatian dari dunia. Negara-negara maju, seperti Jerman, Swiss, dan Kanada, sangat peduli masalah tersebut, kecuali Amerika Serikat yang tidak terlalu peduli masalah global warming,” katanya.