Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Industri Tembakau Kecil Desak Pemerintah Konsisten Berlakukan Roadmap

Industri Hasil Tembakau (IHT) kecil yang tergabung dalam Forum Masyarakat Industri Rokok Seluruh Indonesia (Formasi) mendesak pemerintah untuk memberlakukan roadmap IHT, termasuk PMK 146/2017, agar memberikan kepastian hukum bagi pelaku industri.
Suasana buruh yang bekerja di IHT kecil di Malang. Bisnis/Choirul Anam
Suasana buruh yang bekerja di IHT kecil di Malang. Bisnis/Choirul Anam

Bisnis.com, MALANG—Industri Hasil Tembakau (IHT) kecil yang tergabung dalam Forum Masyarakat Industri Rokok Seluruh Indonesia (Formasi) mendesak pemerintah untuk memberlakukan roadmap IHT, termasuk PMK 146/2017, agar memberikan kepastian hukum bagi pelaku industri.

Ketua Harian Formasi Heri Susianto mengatakan dengan adanya kepastian hukum maka pelaku di IHT dapat merencanakan kegiatan usaha dengan pasti sehingga bisnis dapat berjalan dengan baik.

“Roadmap IHT sudah baik, sudah berkeadilan, dan memberikan kesempatan IHT untuk berkembang secara fair,” katanya di Malang, Selasa (30/10/2018).

Lewat roadmap dan PMK 146/2017 justru memberikan peluang bagi IHT kecil untuk berkembang. Hal itu suatu yang wajar karena pemerintah sebagai regulator pada industri tersebut justru ingin memberikan keseimbangan-keseimbangan bagi pelaku industri di berbagai tingkatan.

Saat ini, memang Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (Gappri) menyumbang pendapatan dari cukai sebesar 67%, Sampoerna Grup 30%, dan IHT kecil 3%. Dengan komposisi itu, maka wajar jika pemerintah sebagai regulator memberi angin bagi IHT kecil agar dapat meningkatkan pangsa pasarnya lewat berbagai regulasi yang mengacu pada roadmap IHT.

Di sisi lain, pemerintah juga membutuhkan dana untuk mendukung pendanaan pembangunan dari cukai dengan menaikkan tarif cukai IHT. Jika Gappri dan Gaprindo menolak tarif cukai 2019 naik atau status quo, Formasi justru mengusulkan tarif cukai naik dengan proporsi yang wajar, yakni 8%.

Formasi juga menyetujui penggabungan sigaret putih mesin (SPM) dan sigaret kretek mesin (SKM) dengan penggolongan tarif, yakni 6 miliar batang ke atas/tahun termasuk golongan I, 3 miliar batang lebih-6 miliar batang/tahun termasuk golongan II, dan 0-1 miliar batang/tahun golongan III.

Untuk sigaret kretek tangan (SKT), gologan I dengan produksi 3 miliar batang lebih/tahun, golongan II l miliar batang lebih-3 miliar batang/tahun, dan golongan III 0-1 miliar batang/tahun.

“Formasi mendukung penuh kebijakan pemerintah untuk penggabungan jumlah produksi SKM dan SPM,” ujarnya.

Jika tidak digabung, maka seolah-seolah untuk produksi mesin batasannya menjadi 3 miliar batang/tahun untuk SKM, dan 3 miliar batang/tahun untuk SPM.

Jika hal itu terjadi,m maka dari segi penerimaan negara tidak diuntungkan. “Dengan penaikan tarif cukai, kami sebenarnya juga berkorban karena yang berhadapan dengan peredaran rokok ilegal itu IHT kecil karena harganya yang paling mendekati pada rokok yang diproduksi perusahaan rokok kecil,” katanya.

Menurut dia, peggabungan SKM dan SPM dalam penghitungan produksi IHT sudah sewajarnya karena pemilik SPM merupakan perusahaan IHT besar, bahkan perusahaan multinasional.

Hampir semua IHT produsen SPM merupakan perusahaan multinasional. Karena itulah, kata dia, tidak pada tempatnya perusahaan rokok tersebut justru meminta tarif cukai yang lebih rendah dengan menggolongkan sebagai perusahaan IHT golongan II dan III sehingga menikmati tarif cukai yang lebih rendah pula.

Karena itulah, Heri berharap, pemerintah tidak ragu untuk menerapkan roadmap IHT, termasuk PMK 146/2017 secara konsisten sesuai dengan pentahapannya.

Penerapan peraturan dari pemerintah yang konsisten justru dapat memberikan kepastian hukum bagi pelaku IHT agar dapat mengembangkan usahanya mengacu pada penetapan peraturan yang telah ditetapkan.

Terkait isyu impor tembakau, usulan agar pemerintah membatasi impor tembakau tidak realistis. Kebutuhan impor tembakau tidak dapat dielakkan karena jenis tembakau tersebut belum ditanam di Indonesia.

“Yang paling membutuhkan tembakau impor, justru perusahaan rokok besar. Jadi usulan tersebut tidak realistis,” ucapnya.

Seperti diketahui, PMK No. 146/2017 terkait roadmap tarif cukai tembakau dinilai akan merugikan jutaan buruh linting kretek yang bergantung pada industri kretek nasional hasil tembakau seperti yang disampaikan kalangan DPR dan Asosiasi Petani Tembakau Indonesia.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Penulis : Choirul Anam
Editor : Rustam Agus
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Terpopuler

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper

Terpopuler