Bisnis.com, SURABAYA – Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) mengusulkan agar pemerintah memasukan kajian gempa ke dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) dan tata ruang guna meminimalisir dampak gempa.
Adapun kajian gempa yang bisa dimasukkan dalam RPJMD yakni ancaman gempa untuk menilai besaran magnitudo, kerentanan tanah, penurunan tanah, kerentanan bangunan permukiman dan publik, kerentanan sosial serta mitigasi struktural dan non struktural (pemberdayaan masyarakat).
Pakar geologi Pusat Studi Kebumian, ITS, Amien Widodo mengatakan menyusul adanya patahan yang berpotensi menimbulkan gempa di Surabaya dan berkaca dari gempa Lombok, Palu, Donggala dan Situbondo, pihaknya melakukan pun penelitian terkait kondisi tanah di Surabaya.
"Penelitian ini ditujukan sebagai sarana mitigasi agar bisa menekan kerugian baik materiil ataupun non materiil akibat gempa," katanya, Kamis (11/10/2018).
Dia menjelaskan, penelitian tersebut juga didasarkan pada penemuan 2 patahan aktif yang melewati Kota Surabaya yang diterbitkan oleh Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) awal September tahun lalu.
Kedua patahan itu adalah patahan Surabaya dan patahan Waru. Patahan Surabaya meliputi kawasan Keputih hingga Cerme. Sedangkan patahan Waru yang lebih panjang lagi melewati Rungkut, Sidoarjo, Mojokerto, Jombang, Nganjuk, Saradan, bahkan sampai Cepu.
“Dengan adanya data seperti ini, kita harus memetakan dampak akibat gempa yang dihasilkan,” ujarnya.
Amien menerangkan, tanah memiliki karakteristik yang berbeda saat dikenai beban gempa. Ada yang bisa mengalami likuifaksi ataupun amplifikasi.
Likuifaksi merupakan peristiwa yang terjadi pada tanah yang memiliki lapisan pasir. Di dalam tanah tersebut terdapat air dalam kondisi jenuh yang kemudian akan mendorong ke atas dan mengakibatkan pasir dan air langsung keluar.
“Air itu menjadi bertekanan saat terkena beban gempa,” katanya.
Sedangkan amplifikasi merupakan gerakan yang merambat melalui tanah yang lunak dan menghasilkan amplitudo yang besar. Pembesaran ini yang nantinya akan memengaruhi energi dari gempa tersebut.
"Dengan kata lain kekuatannya akan berlipat beberapa kali,” imbuhnya.
Kepala Laboratorium Geofisika Teknik dan Lingkungan ini menyebutkan bahwa kawasan Surabaya Timur dan Utara yang jenis tanahnya berupa endapan rawa lebih berpotensi untuk mengalami amplifikasi.
Amien menambahkan, sebagai upaya pencegahan dampak gempa yakni bisa dilakukan dengan cara pemadatan tanah serta penggunaan fondasi tiang pancang pada bangunan bertingkat guna mengurangi dampak dari amplifikasi.
“Sebenarnya sudah banyak yang tahu kalau kualitas tanah di Surabaya kurang baik, hal itu terlihat dari tingginya pengurukan tanah sebelum membuat bangunan,” imbuhnya.
Diketahui pada Kamis (11/10/2018), gempa bumi berkekuatan 6,4 SR mengguncang wilayah Jawa Timur dan Bali.
Pusat gempa di Situbondo terjadi pada kedalaman 12 km dengan episenter gempa bumi terletak pada koordinat 7,47 LS dan 114,43 BT.
Pusat Informasi dan Humas Badan Nasional Penanggulangan (BNPB) menyebut sementara ini ada 3 orang meninggal dunia dan beberapa kerusakan akibat gempa ini.
Sementara Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Jatim hingga kini belum mengupdate perkembangan penanganan bencana alam karena masih menunggu data dari 22 BPBD kota/kabupaten yang terdampak.