Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Dipicu Sektor Pariwisata, Ekonomi Jatim Diproyeksikan Tumbuh 8% pada 2045

Ekonomi Jatim diproyeksikan bisa mencapai 8% pada Indonesia Emas 2045 yang antara lain dipicu penguatan dan pertumubuhan sektor pariwisata.
Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya, Prof. Dwi Budi Santoso, dalam kegiatan seminar di Universitas Brawijaya, Kamis (17/4/2025) / Istimewa
Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya, Prof. Dwi Budi Santoso, dalam kegiatan seminar di Universitas Brawijaya, Kamis (17/4/2025) / Istimewa

Bisnis.com, MALANG — Ekonomi Jawa Timur (Jatim) diproyeksikan bisa mencapai 8% pada Indonesia Emas 2045 yang antara lain dipicu penguatan dan pertumubuhan sektor pariwisata.

Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya, Prof. Dwi Budi Santoso, mengatakan sektor pariwisata bisa terus dikembangkan di Jawa Timur untuk mendongkrak perekonomian menuju Indonesia Emas 2045. 

"Dalam satu dekade terakhir, tingkat pertumbuhan ekonomi tertinggi yang pernah dicapai oleh Jawa Timur adalah sebesar 6,6 persen dan belum pernah mencapai angka 8 persen," ucap Prof Dwi Budi Santoso, Rabu (23/4/2025).

Pada 2045, kata Dwi, pertumbuhan ekonomi di Jatim diproyeksikan bisa mencapai 8% melalui penguatan sektor pariwisata di Jawa Timur.

Hal itu menunjukkan bahwa tantangan menuju Indonesia Emas 2045 sangatlah besar, apalagi adanya tantangan global yang besar.

Menurutnya, Indonesia Emas 2045 merupakan wacana yang sudah digadang-gadang sejak 2023 melalui siaran pers Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Republik Indonesia. 

Dilansir dari laporan ekon.go.id pada Kamis (15/6/2023) dalam wujudkan visi Indonesia Emas 2045 pemerintah meluncurkan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) tahun 2025-2045.

Dwi mengungkapkan, sektor pariwisata bisa menjadi salah satu upaya dalam memajukan perekonomian di Jawa Timur. 

Secara teoritis, lanjut Dwi, sektor pariwisata ini memiliki efek multiplier yang luar biasa yang dapat mendorong interaksi antarsektor dalam sistem ekonomi.

Dampak multiplier sektor ini sangat luas mencakup penciptaan lapangan kerja, pemanfaatan sumber daya, penguatan keterampilan dan keahlian tenaga kerja, peningkatan kolaborasi berbagai bidang atau sektor lintas disiplin, serta mendorong arus perdagangan dan investasi. 

Lebih lanjut, setiap pengeluaran pada sektor pariwisata memicu efek domino yang merangsang permintaan di sektor-sektor ekonomi lain sehingga meningkatkan pendapatan regional. 

"Secara teoritis ini kita buat direct effect dari pariwisata itu sebetulnya pada transportasi, hotel, makanan, dan tenaga kerja," kata Dwi.

Dwi memaparkan jika komponen seperti transportasi, hotel, dan usaha makanan tersebut tumbuh, maka akan mendorong jumlah permintaan tenaga kerja.

Akan tetapi Dwi menilai perlu adanya berbagai upaya dalam merealisasikan hal tersebut. Dalam teori pertumbuhan ekonomi Solow, dapat diindentifikasi bahwa perekonomian tidak selalu berbanding lurus dan terus mengalami fluktuasi.

"Perekonomian itu tidak naik terus atau turun terus, tapi ada kontraksi dan ekspansi," ucap dia.

Dwi juga menambahkan bahwa dalam teori Solow, kemajuan perekonomian terjadi melalui peningkatan modal yang berasal dari investasi.

Setiap investasi tentu memiliki biaya, dan selama biaya tersebut masih lebih rendah dibandingkan manfaat atau keuntungan yang diperoleh, maka tabungan yang tersedia akan terus diinvestasikan. 

Pada tahap ini, perekonomian berada dalam kondisi ekspansif, ditandai dengan peningkatan output ekonomi perkapita. Proses ini akan berlangsung hingga keuntungan investasi mencapai titik nol.

Jika investasi tetap dipaksakan setelah titik ini, perekonomian akan memasuki kondisi yang disebut overheated, di mana biaya investasi menjadi lebih tinggi dari tabungan yang tersedia. 

Untuk menutupi selisih ini, konsumsi masyarakat harus dikurangi, yang pada akhirnya justru mengakibatkan ekonomi mengalami kontraksi.

Dalam kondisi seperti ini, investor akan mengurangi investasinya, dan perekonomian secara perlahan akan kembali ke titik keseimbangan atau yang dikenal sebagai steady state.

Steady state merupakan titik optimal perekonomian daerah, di mana aktivitas fluktuasi ekonomi daerah akan terjadi di sekitar titik tersebut dalam jangka panjang.

Oleh karena itu, ujar dia, fokus utama pemerintah seharusnya mendorong terbentuknya steady state baru dengan tingkat modal dan output yang lebih tinggi. 

Untuk mencapai hal tersebut, strategi kunci yang perlu dilakukan adalah meningkatkan efisiensi investasi. Pemerintah juga perlu menurunkan biaya investasi seminimal mungkin, baik melalui penyederhanaan regulasi, perbaikan infrastruktur, maupun penciptaan iklim usaha yang kondusif.

Ketika efisiensi meningkat dan biaya menurun, maka batas atas pertumbuhan ekonomi akan terdorong lebih jauh, menciptakan peluang bagi daerah untuk keluar dari steady state lama dan masuk ke jalur pertumbuhan baru yang lebih tinggi.

Dwi juga mengilustrasikan apabila 38 kota/kabupaten yang ada di Jawa Timur memiliki steady state yang sama, maka secara alamiah tingkat perekonomian akan membentuk konvergensi, yakni berkurangnya tingkat kesenjangan antarwilayah.

Namun pada faktanya, dia menegaskan, 38 kota dan kabupaten di Jawa Timur memiliki steady state yang berbeda sehingga daerah miskin di Jawa Timur sulit untuk mengejar perekonomian daerah atau wilayah kota besar seperti Surabaya.

Perbedaan ini kemungkinan disebabkan oleh kondisi sosial ekonomi awal yang tidak setara, seperti akses terhadap infrastruktur, kualitas sumber daya manusia, dan kapasitas fiskal daerah. 

Akibatnya, perekonomian daerah terpecah menjadi beberapa kelompok atau klub di mana masing-masing kelompok bergerak menuju titik steady state yang berbeda-beda.

"Ya karena steady state yang berbeda, maka wilayah atau daerah tersebut membentuk klub dengan kategori wilayah dengan steady state yang sama, yang dinamakan konvergensi club dengan pusat-pusat pertumbuhan yang berbeda,” katanya.

Lebih spesifik, Dwi menjelaskan bahwa pengembangan pariwisata perlu mempertimbangkan karakteristik wilayah, apakah memiliki basis pariwisata atau tidak. 

Contohnya Kota Batu yang sudah memiliki fondasi kuat dalam sektor pariwisata, tidak lagi memerlukan pembangunan fasilitas dasar secara masif namun tinggal berfokus pada peningkatan daya tarik (attraction) dan layanan pendukung (ancillary). 

Hal ini sejalan dengan posisinya yang mungkin telah memasuki fase perlambatan ekonomi, di mana strategi utama bukan lagi membangun infrastruktur wisata, tetapi menarik kunjungan wisatawan sebanyak mungkin melalui inovasi dan penguatan nilai destinasi.

Dwi menegaskan, terdapat beberapa indikator atau indeks yang dapat digunakan untuk mengukur kinerja sektor pariwisata, antara lain kontribusi sektor akomodasi, transportasi, serta makanan dan minuman terhadap PDRB, serta persentase kunjungan wisatawan domestik maupun mancanegara.

"Dari beberapa indeks tersebut, persentase kunjungan wisatawan domestik maupun mancanegara menjadi indikator bahwa sektor pariwisata di Jawa Timur memiliki daya saing yang baik," ucapnya.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Choirul Anam
Bisnis Indonesia Premium.

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Bisnis Indonesia Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper