Bisnis.com, MALANG — Indonesia perlu menerapkan model desentralisasi yang dinamis di tengah perubahan yang cepat, tidak terduga, dan sulit dipahami.
Guru Besar Bidang Sistem Administrasi Pemerintahan Lokal Universitas Brawijaya, Prof Mujibur Rahman Khairul Muluk, menegaskan hal itu pada pidato pengukuhannya sebagai guru besar, Kamis (28/11/2024).
“Sistem pemerintahan dihadapkan era BANI (brittle, anxious, non-linear, incomprehensible) sebagai akibat dari globalisasi dan industry 4.0,” katanya.
Era ini, kata dia, membuat sistem yang kokoh dengan mudah menjadi rapuh. Indonesia membutuhkan model baru untuk menghadapinya, yakni desentralisasi dinamis untuk menggantikan model lama: sentralisasi dominan, desentralisasi radikal, dan resentralisasi senyap.
Menurutnya, model desentralisasi dinamis memiliki keunggulan untuk tetap menjaga keseimbangan dinamis antara kemampuan sistem pemerintahan untuk mencapai efektivitas dan efisiensi pemerintahan sekaligus juga mencapai kadar pemerintahan yang demokratis.
Model ini, dia menilai, mampu memfasilitasi kebutuhan pemerintahan dalam menghadapi era BANI yang menuntut adanya pemerintahan pusat yang kuat namun disertai dengan pemerintahan daerah yang kokoh.
Baca Juga
Pemerintahan daerah yang kokoh, kata dia, dapat diandalkan jika tiba-tiba sistem pemerintahan pusat ambruk karena sebab yang berkembang amat cepat di luar dugaan. Peristiwa krisis moneter 1998 lalu menjadi contoh begitu cepatnya sebuah negara terjerembab dalam krisis tanpa dinyana setahun sebelumnya.
Kelemahan model ini, dia nilai, terletak pada dinamisnya pergerakan pendulum desentralisasi sehingga akan selalu ada tarikan sentrifugal dan sentripetal secara terus menerus.
Model ini tidak akan bertahan lama berada dalam titik equilibrium antara axis sentral dan desentral. Namun demikian, titik keseimbangan ini akan memberikan efek psikologis sebagai patokan dasar agar dinamika pendulum desentralisasi akan selalu mencari titik titik equilibriumnya.
Dia menegaskan, mencapai model desentralisasi dinamis membutuhkan kerelaan pemerintah pusat dan kemampuan daerah untuk menyelenggarakan pemerintahan daerah yang efektif.
Untuk itu sebaiknya dihindari pengawasan yang bersifat preventive control apalagi punitive control. Selain tidak memberdayakan daerah, dalam jangka panjang justru dapat memantik timbulnya ketidak-percayaan daerah kepada pemerintah pusat.
Upaya mendorong tercapainya desentralisasi berimbang membutuhkan pengawasan yang bersifat promotive control. Pengawasan oleh pemerintah pusat merupakan alat untuk meningkatkan kapasitas daerah dalam menyelenggarakan kewenangan dan urusan yang didesentralisasi ke daerah.
Saat ini, kata dia, trennya menerapkan pemerintah menerapkan resentralisasi meski payung desentralisasi sudah kuat, yakni UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Desa. “Tapi UU sering dikalahkan dengan adanya UU dan bersifat teknis seperti UU Cipta Kerja dan UU Minerba serta beberapa Perpres,” ucapnya.
Dalam kondisi tertentu, dia menegaskan, sentralisasi diperlukan jika kondisinya memaksa seperti ada pandemi Covid.
Prof. Mujibur Rahman Khairul Muluk, sebagai profesor aktif ke-3 di Fakultas Ilmu Administrasi dan profesor aktif ke 215 di Universitas Brawijaya serta menjadi profesor ke 391 dari seluruh profesor yang telah dihasilkan oleh Universitas Brawijaya. (K24)