Bisnis.com, SURABAYA - Badai matahari saat ini tengah berlangsung. National Oceanic Atmospheric Administration (NOAA) dan Space Weather Prediction Center (SWPC) juga memprediksikan bila fenomena badai matahari ini akan berlangsung hingga Oktober 2024. Bahkan badan antariksa Amerika Serikat (NASA) memperkirakan badai matahari akan berlangsung hingga akhir tahun 2025.
Badai matahari ini membawa dampak ke bumi. Salah satu yang terkena dampak langsung dari fenomena badai matahari adalah Starlink. Penyedia broadband melalui satelit ini mengalami penurunan kualitas yang sangat signifikan. Ini disebabkan komunikasi ribuan satelit Starlink yang berada di orbit rendah bumi (LEO) menggunakan laser untuk mentransfer data satu sama lain dengan kecepatan cahaya.
Selain itu komunikasi satelit Starlink ke konsumen menggunakan frekuensi KU band. Secara natural, KU band kata Dr Ir Agung Harsoyo MSc M.eng, dosen di Sekolah Teknik Elektro dan Informatika (STEI) ITB, rentan terhadap uap air. Sehingga ketika hujan kemungkinan besar bisa terjadi ganguan komunikasi. Karena kendala alam tersebut akan mempengaruhi secara signifikan kapasitas dan kualitas Starlink.
Agung mengatakan, setiap teknologi telekomunikasi memang memiliki keunggulan dan kekurangan masing-masing. Teknologi telekomunikasi non teresterial seperti Starlink, memiliki kemudahan kecepatan penggelaran dalam menyediakan layanan broadband di daerah yang sulit dijangkau oleh layanan teresterial seperti layanan fibre to the home (FTTH) maupun selular.
“Starlink yang berada di ketinggian lebih dari 550 km di atas permukaan bumi dan komunikasinya menggunakan frekuensi dan infra red, tentu akan mengalami kendala ketika ada ganguan alam seperti ketika badai matahari atau terjadi hujan lebat. Apa lagi kemungkinan badai matahari masih akan terjadi dan memakan waktu yang lama, membuat potensi layanan Starlinik tergangu cukup besar. Mengandalkan Starlink untuk komunikasi utama bagi critical mission sangat berisiko,” ucap Agung.
Kedala lainnya yang dimiliki Starlink adalah masih mahalnya teknologi satelit dan peluncurannya. Mahalnya teknologi tersebut dikopensasikan terhadap layanan broadbandnya. Sebagai contoh untuk layanan resedensial, Starlink mematok harga Rp 750 ribu. Itu belum termasuk biaya pembelian perangkat yang mencapai Rp 7,8 juta.
Jika dibandingkan dengan harga layanan operator FTTH di Indonesia, kata Agung, harganya terpaut sangat jauh. Contohnya produk FTTH Indihome, untuk kecepatan 30 Mbps dibandrol mulai Rp 220.000 per bulan. Sedangkan untuk layanan Telkomsel Orbit dengan kuota 100 GB dibandrol Rp 131 ribu. Sementara itu layanan FTTH MyRepbulic dengan kecepatan 50 mbps dibandrol Rp 200 ribu. Untuk kecepatan 100mbps, anak usaha Sinarmas tersebut membandrol Rp 300 ribu.
“Saya tak yakin masyarakat umum yang sudah menikmati FTTH atau selular dengan harga yang terjangkau, akan mudah beralih ke layanan Starlink yang sangat mahal. Mungkin produk Starlink hanya dibeli oleh konsumen yang berada di daerah terpencil dengan kondisi geografis yang berat dan belum terlayani oleh FTTH atau selular,” ucap Agung.
Keunggulan lainnya FTTH dibandingkan dengan Starlink, lanjut Agung adalah kapasitas dan kecepatan yang diberikan bisa bisa lebih besar. Bahkan kapasitasnya dan kecepatan fiber satuannya Gbps. Memang saat ini kecepatan Starlink yang digaungkan bisa mencapai 200 mbps. Namun prinsip dari telekomunikasi nirkabel lanjut Agung, ketika penggunanya masih sedikit, kecepatannya bisa optimal. Namun ketika penggunanya sudah banyak, secara alamiah, kecepatan dan kualitasnya dipastikan menurun. Karena prinsip nirkabel adalah berbagi kapasitas.
“Kecepatan, latensi dan kehandalan FTTH atau fiber bisa digaransi 99,999%. Sehingga perusahaan yang membutuhkan critical mission seperti perbankan untuk koneksi ATM, masih menjadikan fiber dan selular sebagai transport utamanya. Satelit seperti Starlink mungkin hanya dipakai untuk backup saja. Jika ada pilihan fiber, tak berani mereka menggunakan Starlink untuk transpor data utama,” tutup Agung.