Bisnis.com, SURABAYA - Perkembangan satelit saat ini dinilai Dr Dipl. Ing. Lilly S. Wasitova, seorang aerospace engineer dan praktisi teknologi kerdirgantaraan mengalami kemajuan yang sangat pesat. Dahulu satelit hanya dikenal dengan satelit geostasioner dengan ukuran yang cukup besar dan kapasitas yang terbatas. Namun kini satelit geostasioner sudah menggunakan teknologi High Throughput Satellite (HTS). Bahkan yang teranyar satelit tidak hanya geostasioner, melainkan sudah menggunakan satelit orbit bumi rendah (Low Earth Orbit Satellite (LEO)) yang mampu memiliki latensi yang jauh lebih rendah ketimbang satelit geostasioner.
Karena satelit sudah mengalami revolusi yang sangat cepat, membuat ruang angkasa dan ruang antariksa di atas Indonesia menjadi sangat strategis. Selain adanya besarnya potensi sampah antariksa, menurut Lilly faktor keamanan dan kedaulatan harus menjadi pertimbangan pemerintah dalam memberikan izin operator satelit yang akan berusaha.
“Itu yang membuat sampai saat ini India menolak operasional Starlink di negaranya. Masuknya Starlink bisa menjadi faktor kemanan dan kedaulatan India menjadi rentan. Saya tak yakin Indonesia memiliki kajian yang mendalam mengenai aspek keamanan dan kedaulatan ketika Starlink diberikan izin berusaha,” kata Lilly.
Kekhawatiran tersebut dinilai wajar oleh Lilly. Selain karena sistim dan data yang ada tidak berada di wilayah kedaulatan mereka, jika Starlink disuatu masuk ke suatu wilayah negara sejatinya sudah membuka kerentanan terhadap keamanan suatu negara. Wahana ruang angkasa itu seolah-olah senyap dan terlihat kasat mata, namun punya potensi ancaman keamanan serta kedaulatan suatu negara.
“India sebagai negara menolak kehadiran Starlink pasti memiliki kajian yang mendalam mengenai potensi ancaman keamanan dan kedaulatan. Salah satu keamanan yang ingin dijaga adalah data pribadi dan data demografi masyarakat. Nggak bisa disamakan kepentingan negara dengan kepentingan entitas bisnis. Saya berharap Indonesia sebagai negara berdaulat dapat mencontoh India dalam mempertahankan keamanan dan kedaulatan ketika Starlink hadir langsung untuk melayani masyarakat,” ujar Lilly.
Indonesia sebagai negara Kepulauan dan dengan kekuatan ekonomi yang besar dan jumlah penduduk yang sangat banyak harusnya diproteksi Pemerintah dari potensi ancaman kedaulatan dan kemaslahatan rakyatnya dari upaya-upaya yang merugikan Negara.
Lilly prihatin dengan rencana pemerintah untuk mempergunakan Starlink pertama kali di Ibu Kota Nusantara (IKN). Terlebih lagi IKN perupakan calon ibu kota Indonesia yang dinilai sangat strategis. Menurut Lilly, sebelum Kominfo memberikan izin berusaha bagi Starlink, seharusnya kajian mendalam baik itu kebutuhan layanan telekomunikasi menggunakan satelit dan kajian keamanan nasional dapat dibuka terlebih dahulu ke publik. Tujuannya agar publik tau berapa besar kebutuhan telekomunikasi menggunakan satelit di Indonesia. Sehingga ancaman terhadap ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan dan keamanan (IPOLEKSOSBUDHANKAM) dapat diminimalisir.
Agar meminimalkan potensi IPOLEKSOSBUDHANKAM, harusnya Indonesia memiliki data mengenai kapasitas satelit yang dimiliki oleh perusahaan nasional. Menurut Lilly hingga saat ini kebutuhan akan telekomunikasi melalui satelit masih bisa dipenuhi oleh satelit nasional yang ada. Terlebih lagi BAKTI Kominfo melalui PSN baru-baru ini meluncurkan satelit SATRIA yang memiliki kapasitas terbesar di Asia.
“Apakah sumber daya yang dimiliki perusahaan satelit nasional sudah dimanfaatkan secara optimal? Hitung dulu kebutuhan dan risiko keamanannya. Jika sudah ada hitungan kebutuhannya, manfaatkan dulu sumberdaya yang ada. Jika sudah tidak ada, boleh menggunakan sumberdaya dari luar. Menurut saya yang saat ini dibutuhkan adalah pembenahan tata kelola industri telekomunikasi dan satelit nasional. Leverage harus dilihat secara mendalam dan jelas. Kita masih rancu membedakan antara ranah G2G dan B2B. Leverage Starlink itu merupakan ranah B2B,”kata Lilly.