Universitas Indonesia Mengeluarkan Policy Paper Kedaulatan Siber Indonesia

Universitas Indonesia melalui Sekolah Kajian Stratejik Global Universitas Indonesia (SKSG UI), mengeluarkan policy paper berjudul Kedaulatan Siber Indonesia.
Foto: Ilustrasi/Unsplash
Foto: Ilustrasi/Unsplash

Bisnis.com, Surabaya - Universitas Indonesia melalui Sekolah Kajian Stratejik Global Universitas Indonesia (SKSG UI), mengeluarkan policy paper berjudul Kedaulatan Siber Indonesia.

Dalam peluncuran policy paper tersebut pada Senin, 18 September 2023, Muhamad Syauqillah, M.Si., Ph.D., Ketua Prodi Kajian Terorisme Sekolah Kajian Stratejik Global Universitas Indonesia (SKSG UI) menjelaskan perkembangan dan tantangan kedaulaltan siber; perbandingannya dengan negara lain; kaitannya dengan perkembangan geopolitik yang dihadapi Indonesia seperti isu Laut China Selatan, penguatan proxy Amerika dengan beberapa negara seperti Filipina, Papua Nugini, dan Poros Kerjasama AUKUS (Australia, Inggris, Amerika Serikat); rencana SpaceX menyediakan layanan Starlink langsung ke masyarakat di Indonesia, dan dampaknya terhadap pelaksanaan Pemilu 2024.

Syauqillah menilai, untuk merespons permasalahan maupun dinamika tantangan domestik dan lingkungan strategis tersebut, Indonesia memerlukan strategi khusus dalam ketahanan dan keamanan sibernya. Rencana hadirnya Starlink yang berbasiskan satelit Low Eart Orbit (LEO) merupakan ancaman bagi kedaulatan Indonesia. Secara khusus, SKSG UI telah sejak lama mengakaji ancaman satelit LEO terhadap kedaulatan, pertahanan, dan keamaman Indonesia.

Sebelumnya di tahun 2020, dua peneliti SKSG UI yaitu Ariesta Satryoko dan Arthur Josias Simon Runturambi telah menuangkan kajian tersebut dalam paper berjudul Strategi Indonesia Menghadapi Era Konstalasi Low Earth Orbit Satelit dalam Kemungkinan Penggunannya Oleh Intelijen Asing Sebagai Alat Spionase. Dalam webinar ini, Syauqillah menekankan hal-hal strategis yang perlu dilaksanakan untuk memastikan kehadiran penyelenggara internet tersebut tetap memperhatikan aspek keamanan nasional.

SKSG UI mempunyai banyak catatan mengenai teknologi satelit LEO yang dimiliki Elon Musk. Pada 28 Februari 2022, pendiri Tesla ini menawarkan internet gratis melalui Starlink kepada Pemerintah Ukraina. Setelah pemerintah Ukraina tergantung, pada 30 September 2022 Elon Musk mulai menghentikan layanan Starlink. Hal ini tentu mengancam nyawa tentara Ukraina, karena Starlink adalah media yang mereka gunakan di medan perang.

“Pada 14 Oktober 2022 SpaceX meminta Kementerian Pertahanan Amerika Serikat (AS) serta Uni Eropa membayar $120 juta untuk penyediaan internet di Ukraina selama tahun 2022, dan $400 juta untuk satu tahun ke depan. Pada 30 Mei 2023 Pentagon memutuskan untuk membayar tagihan tersebut. Hal ini menunjukkan Elon Musk memanfaatkan kondisi geopolitik global untuk mendapatkan keuntungan bisnis,” terang Syauqillah.

Catatan lainnya SKSG UI adalah adanya upaya yang dilakukan menumbangkan Pemerintah Iran yang saat itu tengah melakukan pembatasan akses internet. Termasuk pemblokiran sejumlah media sosial pada 16 September 2022 untuk mencegah meluasnya aksi demo kematian Mahda Amini. Saat itu pemerintah Amerika Serikat meminta Elon Musk untuk mengaktifkan layanan Starlink di Iran, serta mengecualikan perangkat Starlink dari daftar larangan ekspor AS ke Iran.

“Masih banyak catatan lainnya dari Starlink. Termasuk pemerintah Turkiye yang menolak Starlink karena kurangnya pengawasan dan regulasi terhadap layanan Starlink. Sehingga akan mempermudah Starlink mendapatkan berbagai informasi sensitif dari negara tempatnya beroperasi. Pemerintah RRT juga mengingatkan Starlink saat ini dijadikan alat militer Amerika Serikat. Bahkan Ren Yuan Zheng and Jin Sheng pada Februari 2022 menyampaikan bahwa terdapat hubungan erat antara Starlink dan militer AS,” kata Syauqillah.

Dengan berbagai macam catatan tersebut menurut Syauqillah, pemerintah seharusnya dapat memetakan informasi mengenai Elon Musk, karakteristik Starlink, dan berbagai isu geopolitik yang terjadi terhadap rencana Starlink yang memberikan layanan internet langsung di Papua.

Ketika Starlink hadir di Papua, bisa dipastikan pemerintah Indonesia tidak memiliki kendali atas layanan internet. Sehingga pemerintah Amerika Serikat melalui Starlink dapat lebih memanfaatkan isu Papua untuk menekan Indonesia. KKB dan gerakan separatis di Papua akan lebih memiliki akses yang bebas ke internet global, lebih mudah mengoordinasikan serangan secara terstruktur dan masif, sehingga akan banyak korban jiwa dari TNI/Polri dan masyarakat.

Syauqillah juga menggarisbawahi terkait Section 702 dari US Foreign Intelligence Surveillance Act (FISA) atau UU Pengawasan Intelijen Luar Negeri Amerika Serikat yang mewajibkan penyedia layanan komunikasi elektronik AS, termasuk Starlink dan anak perusahannya untuk memberikan informasi intelijen tersebut. Hal ini tentunya menjadi ancaman serius dikaitkan dengan isu papua dan ketika Indonesia akan melaksanakan pesta demokrasi yaitu Pemilu 2024.

Dalam sesi penanggap, Dr. Ir. Mohammad Ridwan Effendi, M.A.Sc., menjelaskan karakteristik teknis Starlink yang berisiko mengancam kedaulatan dan integritas Indonesia. Secara khusus, Pengajar Sekolah Teknik Elektro dan Informatika, Institut Teknologi Bandung (ITB) ini menyoroti Inter Satellite Link (ISL) yang memanfaatkan sinar laser yang berperan sebagai backbone di luar angkasa.

ISL ini memungkinkan Starlink dapat menghindari gateway internet Indonesia, sehingga negara tak memiliki kedaulatan untuk menjalankan kebijakan internet seperti trust positive dan kewajibannya lawful intercept, sebagaimana diatur dalam perundang-undangan.

Arry Abdi Salman selaku Ketua Bidang Keamanan Siber Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) menekankan pentingnya kontrol gateway internet dan memastikan kerja sama dengan penyelenggara internet global seperti SpaceX tidak mengorbankan kepentingan nasional. Melalui kerja sama, beberapa ISP anggota APJI yang merupakan UMKM, telah memanfatkan kapasitas satelit Starlink melalui skema kerja sama untuk menyediakan layanan internet kepapda masyarakat. Kerja sama ini tentunya dengan tetap memastikan gateway berada di Indonesia dan negara berdaulat.

Pada sesi penutup, Syauqillah menegaskan bahwa perkembangan teknologi adalah keniscayaan. Namun, adopsi perkembangan teknologi tersebut harus sesuai kebutuhan dan tetap memperhati kedaulatan bangsa.

“Untuk itu, negara harus berdaulat dan memiliki kendali atas infrastruktur fisik siber, yang diwujudkan melalui pengendalian kehadiran pelaku usaha asing penyedia infrastruktur fisik siber seperti Starlink di Indonesia, melalui kerangka kerja sama dengan pelaku usaha dalam negeri sebagai entitas terpisah, sehingga terdapat segregation of duty yang efektif dalam memecah dan memitigasi risiko ancaman terhadap pertahanan dan ketahanan nasional serta keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.“ pungkas Syauqillah.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Media Digital
Editor : Media Digital
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

# Hot Topic

Rekomendasi Kami

Foto

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper