Bisnis.com, SURABAYA — Gabungan Pengusaha Angkutan Sungai, Danau dan Penyeberangan (Gapasdap) menilai kenaikan tarif angkutan penyeberangan atau feri sebesar 20 persen seperti yang diinginkan pengusaha tidak akan berpengaruh besar terhadap tingkat inflasi.
Ketua Dewan Penasehat DPP Gapasdap, Bambang Haryo Soekartono mengatakan jumlah transportasi publik dan logistik yang menggunakan feri saat ini masih jauh lebih kecil dibandingkan dengan transportasi yang tidak menggunakan feri.
“Sebagai contoh lintas Merak - Bakauheni yang merupakan lintasan penyeberangan terpadat, dalam satu hari ada sekitar 5.000 kendaraan truk, sedangkan jumlah truk yang di Indonesia hanya sekitar 6,5 juta unit sehingga truk yang menggunakan penyeberangan tidak lebih dari 0,07 persen,” jelasnya, Jumat (6/1/2023).
Selain itu, Gapasdap juga telah menghitung secara ekonomi untuk truk pengangkut beras 30 ton di lintas Merak-Bakauheni yang saat ini tarifnya adalah Rp974.278.
Jika tarifnya naik sebesar 20 persen, maka akan mengalami kenaikan tarif sebesar Rp194.855. Jika harga berasnya Rp10.000/kg, maka kenaikan harga beras akibat kenaikan tarif angkutan penyeberangan hanya sekitar 0,064 persen atau Rp6,4/kg saja.
"Bahkan jika kenaikan tarif feri sebesar 35,4 persen seperti seharusnya, dampaknya terhadap harga barang hanya 0,11 persen atau Rp11,4/kg beras. Jadi penyataan Menhub yang menyebut kenaikan 20 persen dapat membebani masyarakat itu tidak mendasar," ujarnya.
Baca Juga
Bambang yang juga Wakil Ketua Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) itu menceritakan, bahwa pada 2021 Gapasdap mengajukan kenaikan tarif angkutan penyeberangan sebelum ada kenaikan harga BBM. Sesuai dengan KM 172 Tahun 2022, Kemenhub setuju untuk menaikkan tarif secara bertahap setiap 6 bulan dengan besaran hingga 20 persen.
“Menhub sudah menyetujui serta menandatangani surat keputusan itu dan bahkan mensosialisasikannya kepada masyarakat. Namun tanpa melibatkan stakeholder, Menhub lalu membatalkan kenaikan tarif 20 persen, tetapi memutuskan kenaikan 11 persen,” katanya.
Padahal, setelah seminggu penetapan kenaikan tarif 11 persen lalu terjadi kenaikan harga BBM hingga 32 persen. Kondisi ini dinilai semakin menyulitkan pengusaha.
Bila mau mengacu pada perhitungan tarif yang melibatkan stakeholder tarif seperti perwakilan masyarakat atau YLKI, PT ASDP, operator pelayaran, asuransi, pemerintah serta Kemenko Marvest pada 2019, maka tarif angkutan penyeberangan saat itu sudah tertinggal 45,5 persen dari Harga Pokok Produksi (HPP).
"Banyak pengusaha pelayaran yang menemui kesulitan bahkan beberapa perusahaan bangkrut. Semuanya terjadi di lintas komersial akibat tarif yang tertinggal sangat jauh dari perhitungan Break Event Point (BEP)," katanya.
Selain itu, lanjut, saat ini juga banyak operator penyeberangan yang tidak mampu memenuhi standarisasi pelayanan dan keselamatan minimum.
"Dari survei yang dilakukan Gapasdap, sekitar dua kapal di masing-masing lintasan rata-rata terdapat kekurangan 20-30 item keselamatan dan pelayanan. Hal Ini dapat membahayakan penumpang," katanya.