Bisnis.com, MALANG — Forum Masyarakat Industri Rokok Seluruh Indonesia atau Formasi mendukung usulan DPR yang meminta agar tarif cukai hasil tembakau naik moderat, yakni naik 7 persen pada 2023.
Ketua Harian Formasi, Heri Susianto, mengatakan usulan DPR itu sesuai dengan aspirasi yang disampaikan asosiasi, yakni penaikan tarif CHT dibawah 10 persen pada 2023. “Jadi menyambung dengan usulan kami,” ujarnya di Malang, Rabu (26/10/2022).
Formasi mengusulkan penaikan tarif cukai di bawah 10 persen, kata dia, dengan pertimbangan tingkat daya beli masyarakat, inflasi, dan kinerja dari perusahaan anggota dari asosiasi.
Setelah penaikan harga BBM, kata dia, berdampak pada inflasi sehingga menurunkan daya beli masyarakat, termasuk dalam membeli rokok.
Dengan menurunnya daya beli masyarakat terhadap produk tembakau, menurut Heri, jelas mempengaruhi kinerja dari perusahaan rokok, utama yang tergabung dalam Formasi, asosiasi perusahaan rokok menengah-kecil, menjadi menurun.
Di tengah situasi seperti itu, maka akan semakin memperburuk kinerja dari perusahaan jika tarif cukai ditetapkan dalam besaran dua digit seperti pada beberapa tahun sebelumnya.
Baca Juga
Hal itu diperburuk dengan beredarnya rokok ilegal. Kondisi ini bisa terjadi karena pasarnya terbuka karena selisih harga rokok ilegal dan legal terpaut jauh sehingga ketika daya beli masyarakat menurun, mereka memilih membeli rokok ilegal.
“Jika kenaikannya 7 persen, maka kenaikan masih moderat, masih dalam jangkauan dari industri. IHT masih bisa bernafas,” ucapnya.
Namun demikian, dengan adanya penaikan tarif CHT sebesar 7 persen, maka selisih harga rokok legal dan ilegal semakin terpaut jauh. Oleh karena itu, dia berharap dengan adanya penaikan tarif CHT, maka harus dibarengi dengan adanya operasi penindakan terhadap peredaran rokok ilegal.
Ekonom dari Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya, Joko Budi Santoso, menilai kenaikan tarif cukai 7 persen pada 2023 merupakan usulan yang tepat di dalam mengamankan penerimaan negara, menjaga iklim usaha dan ketenagakerjaan.
Terlebih industri hasil tembakau menjadi salah satu kunci menjaga stabilitas penerimaan dan resiliensi industri.
“Aspek tersebut seharusnya menjadi prioritas di dalam memperkokoh fondasi perekonomian di tengah ketidakpastian perekonomian global,” kata Joko yang juga Peneliti Senior Pusat Penelitian Kebijakan Ekonomi FEB Universitas Brawijaya itu.(K24)