Bisnis.com, SURABAYA - Produsen pipa baja las PT Steel Pipe Industry of Indonesia Tbk (ISSP) optimistis dapat mencapai target penjualan maupun laba bersih hingga akhir tahun meski masih ada ketidakpastian pandemi yang belum berakhir.
Corporate Secretary and Investor Relation ISSP, Johanes W. Edward, mengatakan laba bersih perseroan sampai Desember 2021 ditargetkan bisa mencapai Rp490 miliar. Dari target tersebut, hingga September 2021 sudah terealisasi Rp445 miliar atau melonjak 801 persen (yoy).
“Sedangkan realiasi penjualan perseroan hingga September 2021 sudah mencapai Rp3,8 triliun atau naik 40,4 persen dibandingkan periode sama tahun lalu, bahkan 5,58 persen lebih besar dibandingkan September 2019,” jelasnya, Kamis (4/11/2021).
Sedangkan capaian volume penjualan ISSP pada kuartal III/2021 tercatat sebanyak 88.093 ton atau naik 54,64 persen dibandingkan kuartal sebelumnya. Menurutnya, kondisi tersebut sejalan dengan adanya pemulihan sektor industri.
Dia mengatakan, saat varian Delta Covid-19 melanda Indonesia, rekor manufaktur Purchasing Manager’s Index (PMI) Indonesia secara konsisten mengalami kenaikan. Tercatat PMI Indonesia pada Agustus 2021 yakni 43,7, lalu pada September meningkat menjadi 52,2, dan pada Oktober 2021 PMI Indonesia kembali naik dengan mencetak rekor 57,2.
“Hal ini menunjukkan pemulihan industri manufaktur yang kuat, sejalan dengan berkurangnya penularan Covid di Indonesia,” ujarnya.
Baca Juga
Selain itu, lanjutnya, capaian kinerja penjualan perseroan tersebut didukung oleh kombinasi volume penjualan, improvement pada product mix, dan efisiensi manufaktur yang berkelanjutan.
Adapun kapasitas produksi ISSP sendiri saat ini mencapai 600.000 ton/tahun. Perseroan memiliki 6 unit pabrik yang tersebar di Jawa Timur dan Jawa Barat. Sebanyak lebih dari 60 persen produk ISSP digunakan di bidang infrastruktur, konstruksi, utilitas, sedangkan sisanya digunakan di sektor minyak dan gas, otomotif dan furnitur.
Johanes menambahkan meski hampir dipastikan target laba bersih Rp490 miliar bakal tercapai di akhir tahun, perseroan tidak mengambil kebijakan untuk mengubah target sebab masih ada risiko gelombang ketiga Covid-19 di Indonesia, serta ketidakpastian jadwal tapering AS, dan faktor lainnya.
Namun begitu, potensi pasar baja dunia ke depan masih cukup besar. Asosiasi baja dunia sendiri masih memperkirakan permintaan baja tahun ini bisa tumbuh 4,5 persen atau lebih tinggi dibandingkan pertumbuhan permintaan pada 2020 yang hanya 0,1 persen.
“Dan pada 2022, permintaan baja global juga diprediksi akan tumbuh hingga 2,2 persen,” imbuhnya.
Johanes melanjutkan, untuk harga baja dunia saat ini juga relatif stabil di tengah tingginya harga saat ini. Diketahui, harga baja global turun sedikit dari puncaknya pada Mei-Agustus 2021, karena keterbatasan manufaktur terkait lingkungan, gangguan rantai pasokan chip, harga komoditas yang tinggi, dan krisis energi.