Bisnis.com, SURABAYA – Menteri Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Menristekdikti) Mohamad Nasir mengungkapkan model pendaftaran pada Seleksi Bersama Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SBMPTN) pada tahun 2019 berubah dibanding tahun lalu.
Menristekdikti ditemui di sela peresmian tujuh gedung di Universitas Negeri Surabaya (Unesa), Rabu (20/2/2019), mengatakan, pada tahun ini ada dua tes yang harus dilalui peserta SBMPTN, yakni tes potensi skolastik (TPS) dan tes kompetensi akademik (TKA).
Sedangkan pada tahun 2018, peserta SBMPTN pertama-tama mendaftar pada perguruan tinggi negeri (PTN), yang dituju, selanjutnya diberitahu tempat tes dan mengikuti tes apakah "computer based test" (CBT) atau "paper based test" (PBT).
"Kebanyakan mereka tidak tahu dan masuk secara untung-untungan. Kedua, kalau sekolah fasilitasnya baik, pasti proses pembelajaran akan lebih baik dibanding anak yang fasilitasnya kurang," kata Nasir.
Padahal, lanjut dia, secara kemampuan bisa jadi anak yang di sekolah kurang baik punya kemampuan tinggi, sementara di sekolah baik aslinya tidak punya kemampuan baik menjadi baik.
"Untuk itu tahun ini kami akan lakukan dua model tes. Pertama, tes potensi skolastik (TPS), yakni menguji anak ketika kuliah selesai apa tidak, karena tidak ingin anak DO di tengah jalan," ujar Nasir.
Tes kedua adalah tes kompetensi akademik (TKA). Tes itu untuk mengetahui anak tersebut cocok di bidang apa dengan nilai yang akan keluar lebih dulu.
Nasir mengungkapkan, pendaftaran SBMPTN akan dimulai Maret dan April, dimulai tes untuk mendaftar kuliah. "Misal, si anak punya nilai 98, berarti cocok untuk prodi A. Sedangkan jika nilai 90, cocok untuk prodi B. Mahasiswa bisa menentukan sendiri sebelum memilih jurusan, sehingga sebaran anak lebih baik," katanya.
Sementara mengenai SNMPTN, Nasir mengklaim adanya peningkatan pada tahun ini. Pendaftaran SNMPTN yang diperpanjang, karena tidak ingin siswa kehilangan kesempatan akibat masalah pendaftaran. "Kualitas harus tetap dijaga, tapi jangan sampai merugikan anak," katanya.
Dia mencontohkan, di Surabaya ada yang melapor kepada Kemenristekdikti setelah satu SMA di bidang IPA tidak masuk karena sistem tidak terkoneksi. "Setelah dibuka bisa masuk. Sistem tidak salah, tapi cara membaca sistem ada yang salah," ujarnya.