Bisnis.com, JAKARTA—Gabungan Importir Nasional Seluruh Indonesia (GINSI) menyatakan lambannya proses penanganan pemeriksaan fisik kontainer impor jalur merah yang wajib periksa karantina dan kepabeanan atau behandle di tiga fasilitas terminal peti kemas ekspor impor yang dikelola PT. Pelindo III mengkontribusi melambungnya dwelling time di pelabuhan itu.
Sekjen Badan Pengurus Pusat GINSI, Erwin Taufan mengatakan, layanan behandle peti kemas impor di tiga terminal peti kemas yang dikelola Pelindo III saat ini memakan waktu rata-rata 8-10 hari bahkan lebih, akibat minimnya peralatan dilokasi behandle dan keterbatasan SDM pemeriksa.
Kondisi ini, kata dia, terjadi di Terminal Petikemas Surabaya (TPS), Terminal Peti Kemas Semarang (TPKS) dan di Terminal Teluk Lamong (TTL).
“Selama ini layanan behandle itu ditangani sendiri oleh operator pelabuhan Pelindo III. Kalau mau profesional, semestinya bisa merujuk penanganan behandle kontainer yang sudah dilaksanakan di Pelabuhan Priok Jakarta dan Belawan Sumut,” ujarnya kepada Bisnis, pada Jumat (26/1/2018).
Taufan juga prihatin dengan melambungnya masa inap barang dan peti kemas (dwelling time) di sejumlah terminal peti kemas ekspor impor yang dikelola PT Pelindo III, padahal laba BUMN tersebut cukup fantastis pada 2017.
Data Dashboard dwelling time INSW, per 25 Januari 2018 rerata dwelling time Pelindo III mencapai 5,45 hari, dengan rincian di Terminal Peti Kemas Semarang 7,05 hari dengan jumlah kontainer menumpuk sebanyak 11.898 bok, TPS Surabaya 4,86 hari (28.230 bok) dan Terminal Teluk Lamong 5,08 hari (6.523 bok).
“Padahal peti kemas yang terminal yang dikelola Pelindo III itu dari sisi volumenya masih dibawah Pelabuhan Priok yang ditangani Pelindo II. Tapi kok dwelling time di Pelindo III justru sangat tinggi, ini artinya ada proses pelayanan yang tidak beres khususnya dari penanganan behandle. Itu yang kami rasakan selaku importir,” ungkap Taufan.
Sebelumnya, Direktur Operasi dan Komersial PT Pelindo III, M.Iqbal mengatakan naikknya rerata dwelling time di lingkungan terminal peti kemas yang dikelola BUMN itu disebabkan persoalan perizinan dari instansi dan kelambagaan terkait ekspor impor sehingga peti kemas belum dikeluarkan pemilik barangnya/consignee dari pelabuhan.